Isu Rasialisme Sengaja Dikembangkan di Papua, Eko Kuntadhi: Padahal yang Jadi Korban Masyarakat Sendiri
Isu rasialisme masih sangat kental di Papua, hal ini terbukti dari banyaknya warga Papua yang membela Gubernur mereka, Lukas Enembe yang disinyalir korupsi dana otonomi khusus (Otsus) Rp1000 triliun.
Seperti diketahui, untuk kedua kalinya Lukas Enembe mangkir dari panggilan KPK. Pengacaranya menyebut Enembe sedang sakit dan minta diobati ke Singapura.
“Kita nggak tahu bagaimana kondisi kesehatannya. Mestinya kan kalau secara hukum, misalnya Sakit beneran ya diperiksa dong sama dokter yang dari KPK. Sehingga KPK bisa menetapkan benar sakit atau tidak,” kata Eko Kuntadhi menanggapi alasan Enembe kabur.
Baca Juga: Koalisi Rakyat Papua Beber Catatan Buruk KPK Terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe, Simak!
“Koruptor ketika mau diperiksa atau mau ditahan tiba-tiba sakit itu sudah menjadi rahasia umum dimana-mana,” tambah dia.
Tapi menurutnya dalam kasus Enembe yang menarik sebetulnya ketika KPK sudah mau turun ke Papua, kemudian ada mobilisir massa masyarakat Papua yang seolah-olah menolak kehadiran KPK.
“Artinya bagi masa yang ada di sana, mereka membentengi Lukas Enembe itu. Mereka merasa bahwa Lukas tidak harus bertanggung jawab terhadap kasus-kasus korupsi yang membelitnya,” kata Eko.
Menurutnya, di zaman Orde baru, tanah Papua memang dikeruk gila-gilaan sementara masyarakatnya dibiarkan seperti itu saja. Pembangunan tidak jalan, kemudian kondisi kemiskinan sangat memprihatinkan.
Maka lahirlah undang-undang otonomi khusus tahun 2001. Undang-undang itu isinya pemerintah pusat akan menggelontorkan dana khusus atau dana spesial untuk wilayah-wilayah yang punya otonomi khusus kayak Papua.
Yang kedua dalam undang-undang itu juga dijelaskan, tidak ada warga negara Indonesia lain selain keturunan Papua yang bisa menjadi pejabat atau bisa menjadi kepala daerah
di sana.
Baca Juga: Lukas Enembe Mangkir Lagi, KPK Sayangkan Sikap Pengacara Gubernur Papua
“Selama ini pemerintah pusat itu agak kesulitan untuk menegakkan hukum di Papua. Kenapa? Karena elit-elit ini kadang-kadang membentengi diri dengan isu rasialisme,” jelas Eko.
“Jadi ketika mau ada penegakan hukum seolah-olah, waduh ini orang Papua mau di persekusi, orang Papua ingin ditangkap sehingga kemudian ada kebencian rahasia,” tambahnya.
Ketika mau ditegakkan, maka di Papua kemudian bergejolak, isunya rasialisme bahkan persepsi bahwa Papua selalu dieksploitasi oleh pemerintah pusat itu terus-menerus
dikembangkan.
“Mereka tidak menceritakan kepada masyarakat Papua sudah 1000 Triliun lebih uang yang digelontorkan untuk membangun Papua dan sampai sekarang nggak jadi apa-apa,” katanya.
Persepsi itu seolah-olah dipertahankan agar agar kemarahan rakyat bisa dijentik untuk melindungi perilaku elit-elitnya.
“Akhirnya salah memandang persoalan, sehingga kemudian dalam tanda kutip beberapa case ada isu rasial yang mereka membenci para pendatang,” jelas Eko.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty
Tag Terkait: