Lima puluh negara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, kembali mengecam China atas perlakuan mereka terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang barat laut.
Selain mengecam keras Tiongkok, ke-50 negara tersebut meminta Beijing untuk mengakhiri dugaan pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari penahanan, penyiksaan, kerja paksa, pemerkosaan, pernokahan serta aborsi paksa, hingga pembunuhan.
Ke-50 negara-negara tersebut termasuk Amerika Serikat dan sekutu baratnya, merupakan kelompok negara terbesar yang secara terbuka mengecam pelanggaran hak asasi manusia oleh China di wilayah Xinjiang.
Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, untuk ikut dan terus bersuara menyelamatkan jutaan muslim Uighur di Xinjiang.
Peneliti senior CENTRIS, AB SOLISSA mengatakan beberapa data yang berasal dari riset serta penelitian sejumlah negara termasuk organisasi HAM dunia, memang menunjukan fakta pelanggaran berat HAM yang diduga kuat telah dilakukan oleh otoritas China.
“Dari data yang kita peroleh, sedikitnya ada 5.532 kasus intimidasi yang dialami orang Uighur, 1.150 kasus lainnya ditahan tanpa alasan jelas dan 424 kasus Muslim Uighur yang dideportasi atau diekstradisi ke China dari 1997 hingga Januari 2022,” kata AB Solissa kepada wartawan, Kamis, (10/11/2022).
Apalagi, lanjut AB Solissa, pernyataan bersama 50 negara-negara dunia mengacu pada laporan penting yang dirilis oleh Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB atau OHCHR buoan Agustus lalu, yang menemukan bahwa skala penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap Uighur dan minoritas mayoritas Muslim lainnya di Xinjiang, mungkin merupakan kejahatan, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain itu, pernyataan bersama ini juga mengutip bukti penggunaan pengawasan invasif atas dasar agama dan etnis, pembatasan ketat pada praktik budaya dan agama, penyiksaan, aborsi dan sterilisasi paksa, pemisahan keluarga, dan kerja paksa yang diduga kuat diterapkan China.
“Mengingat beratnya penilaian OHCHR, 50 negara dunia tersebut memiliki kekhawatiran China yang sejauh ini menolak untuk membahas temuan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB atau OHCHR,” tutur AB Solissa.
50 negara dunia ini menyebut laporan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB atau OHCHR sebagai penilaian independen dan otoritatif yang sangat bergantung pada catatan China sendiri.
Laporan itu memberikan kontribusi penting terhadap bukti pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan sistematis yang ada di China.
Laporan tersebut merekomendasikan agar China membebaskan Uighur dan minoritas Turki lainnya yang ditahan secara sewenang-wenang di Xinjiang, mengklarifikasi nasib dan keberadaan anggota keluarga yang hilang, dan memfasilitasi kontak dan reuni yang aman.
Sayangnya, pada awal Oktober, 50 negara diantaranya Amerika Serikat dan Norwegia di debat Dewan Hak Asasi Manusia PBB tentang temuan laporan OHCHR, dikalahkan oleh China dan sekutunya.
“Sekutu China, Kuba, menyampaikan pernyataan bersama di Majelis Umum PBB atas nama 66 negara, mengkritik apa yang mereka katakan sebagai penerapan standar ganda dan campur tangan dalam urusan internal China atas nama hak asasi manusia,” ujar AB Solissa.
Namun, kelompok hak asasi manusia menyambut baik pernyataan dari 50 negara tersebut.
Wakil Direktur Dewan Hubungan Amerika-Islam yang berbasis di AS, Edward Ahmed Mitchell menyatakan apresiasinya kepada 50 negara yang telah meminta Partai Komunis China (PKC) untuk mengakhiri kampanye genosida, teror Islamofobia terhadap Muslim Uighur.
“Sudah waktunya bagi lebih banyak negara mayoritas Muslim, salah satunya Indonesia, untuk juga menentang upaya PKC untuk menghapus Islam dari wilayah Uyghur di Tiongkok,” pinta AB Solissa.
Kelompok Human Rights Watch yang berbasis di New York tela mendesak anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk mencoba lagi mempertimbangkan opsi umembentuk mekanisme yang didukung PBB, guna menyelidiki lebih lanjut peran China dalam pelanggaran hak asasi di Xinjiang dan untuk merekomendasikan cara untuk meminta Beijing bertanggung jawab atas kejahatan. melawan kemanusiaan.
Kelompok itu menyebut 66 negara diantaranya Kuba, Korea Utara, Venezuela, Suriah dan Eritrea pro-China di Majelis Umum PBB pada hari Senin (7/11) merupakan galeri penyamun virtual dari para pelanggar hak yang serius.
Meskipun China mengalahkan proposal Dewan Hak Asasi Manusia untuk memperdebatkan temuan laporan OHCHR, negara-negara anggota PBB justru dapat mengambil tindakan terhadap China di Majelis Umum PBB.
“Karena sebagian besar keputusan di Majelis Umum diputuskan oleh suara mayoritas, hak veto China tidak berfungsi di sini. Ini kemajuan upaya menyeret China ke Mahkamah Internasional,” pungkas AB Solissa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: