Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pakar Hukum Persaingan Usaha: Pelabelan BPA Galon tidak ada Urgensinya

        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan pakar hukum persaingan usaha, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH. M.Li, mengatakan beban yang harus ditanggung masyarakat dan industri yang terpukul akibat pandemi Covid-19 masih sangat berat. Karenanya, pemerintah perlu berhati hati dalam membuat regulasi agar tidak merugikan masyarakat.   

        Menurutnya, setiap regulasi yang dibuat pemerintah itu seharusnya melihat juga urgensi dan dampaknya bagi masyarakat dan industri. Bagi industri, kepastian hukum sangatlah penting. “Dunia ini sangat dinamis, pandemi kemarin membikin semua orang kolaps. Orang persaingan seperti saya, simple sekali melihatnya, apakah itu (peraturan) akan menjadi burden baru atau beban baru, yang harus dihitung balance atau ekuivalensinya,” ujar Ningrum pada  acara talk show Trijaya bertema “Kasus Etilen Glikol, Pelabelan Kemasan Tidak Boleh Diskriminatif”, Rabu (9/11).

        Dia menegaskan bahwa dunia industri dan dunia persaingan itu sangat ditentukan oleh regulasi yang dikeluarkan apakah akan menambah beban atau tidak. 

        “Jadi, kalau peraturan yang dibuat BPOM itu bersifat diskriminatif, itu hanya menguntungkan satu pelaku usaha dan pasti akan menyebabkan keributan. Jangan gitu dong, level playing field-nya mesti sama,” ujarnya.

        Menurut Ningrum, kalau ada yang sifatnya diskriminatif dan mematikan satu dunia usaha atau satu pelaku usaha tertentu seperti peraturan pelabelan BPA yang hanya dikenakan pada galon guna ulang, itu bisa di-judicial review peraturannya.

        “Apalagi dalam suasana yang sensitif seperti ini. Kita baru saja pandemi, ekonomi berantakan, memang nggak ada prioritas lain yang bisa dikerjakan BPOM yang lebih memastikan masyarakat kita lebih aman. Nggak usah diurusilah yang printilan-printilan seperti pelabelan BPA. Kecuali ada interest tertentu,” tukasnya. 

        Karenanya, Ningrum meminta agar BPOM tidak seenaknya mengeluarkan peraturan tanpa memikirkan aspek holistik dari seluruh stakeholder, bukan mau membela sepihak. Menurut Undang Undang No 12/2012, peraturan yang kredibel harus melalui penyusunan naskah akademik dan uji publik yang melibatkan semua stakeholder terdampak.

        Di berbagai belahan dunia, kata Ningrum, setiap kali ingin membuat peraturan, pasti dia harus menghitung dulu regulatory impact assessment (RIA). “Kalau aku keluarkan ini peraturan, siapa yang terkena dampaknya,” ucapnya.

        “Saya bukan apriori, saya respek sekali kepada BPOM. Tapi bagi saya, sebenarnya nggak tertarik soal pelabelan BPA galon guna ulang ketimbang harus mengurus musibah sirup obat batuk yang menyebabkan banyak anak meninggal,” tambahnya. 

        Dalam diskusi ini Ningrum juga mempertanyakan prioritas kerja Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito, yang beberapa waktu lalu gencar mengupayakan pelabelan BPA pada galon guna ulang.

        Kini merebak kasus yang mengagetkan masyarakat terkait kematian ratusan pasien gagal ginjal akut yang kebanyakan adalah anak-anak yang diduga terkait dengan cemaran etilen glikol dan dietilen glikol pada sirup obat batuk. Apalagi, katanya, Kepala BPOM seolah lepas tanggung jawab dalam menyikapi kejadian yang seharusnya menjadi perhatian utamanya sebagai lembaga pengawas obat dan makanan. 

        “Kejadian pada sirup obat batuk ini bukan hanya warning tapi betul-betul peringatan bagi BPOM. Sudah berjatuhan korban dan sudah ribut. Saya sangat tidak sepakat Kepala BPOM mengatakan bukan hanya tanggung jawabnya tapi melemparkan juga kepada industri. Kalau saya di situ (BPOM), nggak mungkin anak buah saya yang rusak, pasti jenderalnya yang mesti tanggung jawab,” ujarnya.

        Dia melihat BPOM seolah tidak memperhatikan mana kebijakan yang harus diatur buru-buru dan mana yang tidak. Ningrum mengatakan soal pelabelan BPA pada galon guna ulang ini bukanlah kebijakan yang harus dilakukan terburu-buru mengingat belum ada kejadian orang meninggal karena mengkonsumsi air minumnya. Menurutnya, yang harus diutamakan BPOM itu justru pelabelan bebas etilen glikol pada kemasan yang mengandung zat kimia yang telah menyebabkan banyak anak meninggal dunia. 

        “Ini sudah jelas-jelas ada bukti bahayanya ketimbang air minum kemasan galon guna ulang. Para ahlinya juga masih ada dispute soal BPA galon guna ulang ini berbahaya atau tidak. Jadi, saya cuma punya pesan, berhati-hatilah untuk lembaga-lembaga negara yang punya kewenangan ini. Nggak bisa hanya memikirkan dari satu aspek saja, nggak bisa dari hanya misalnya kesehatan, hanya teknologi, hanya peringatan ini, pikirin dong yang lain-lain. Makanya KPPU itu punya yang namanya check list,” katanya.

        Pada acara diskusi bertajuk “'Urgensi Pelabelan BPA Galon Guna Ulang” yang juga digelar Trijaya pada Kamis (10/11),  Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menyampaikan dari sudut kesehatan masyarakat bahwa isu kesehatan masyarakat harus melihat evidence base-nya.

        “Untuk BPA ini, dari kasus konsumsi kami belum melihat evidence base atau fenomena dan fakta yang cukup dan berdampak luas di masyarakat. Apabila ada isu zat ini berbahaya khususnya di pangan, maka kendalinya ada diproduksi dan didistribusi bukan di labelnya. Ini tidak bisa coba-coba," ujar Hermawan 

        Ia menegaskan bahwa pelabelan ini menjadi tidak efektif karena unsur pelabelan itu masuk ke dalam kendali perilaku dan bukan pada substansi yang seharusnya sudah dikendalikan pada saat produksi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: