Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menilai Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Hal tersebut berdasarkan analisis dan kajian yang dilakukan oleh Komnas HAM terkait RKUHP terakhir yang akan memasuki pembahasan tingkat dua di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (6/12/2022).
Kendati menjadi hukuman alternatif, Anis menilai pasal tentang hukuman mati berseberangan dengan prinsip hak asasi manusia. Pasalnya, hukuman mati mengurangi hak hidup seseorang, di mana hak tersebut tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.
Baca Juga: DPR Harus Tahan Diri, RKUHP Dinilai Berpotensi Mengaburkan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
"Masih mencantumkan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif, untuk mencegah tindak pidana dalam rancangan pasal 67 dan 98, ini bertentangan dengan pasal 28 (A) UUD 1945, pasal 9 UU Nomor 9 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan pasal 6 Konvensi dan Hak Sipil dan Politik di mana hak atas hidup adalah hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun (non derogable right)," jelas Anis dalam konferensi persnya di Gedung Komnas HAM, Senin (5/12/2022).
Meski begitu, Anis tetap mengapresiasi pemerintah dalam penyusunan RKUHP. Sebab, dalam RKUHP yang baru dirumuskan memosisikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif dari yang sebelumnya hukuman pokok.
Baca Juga: Akui Tak Semua Pihak Setuju, Yasonna Soal RUU KUHP: Silakan Gugat ke MK
"Komnas HAM memberikan catatan kemajuan dalam RKUHP yang baru, di mana hukuman mati bukan lagi merupakan hukuman pokok, namun pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu, dan ada pengaturan masa percobaan 10 tahun untuk mengubah putusan hukuman mati," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, menuturkan bahwa Komnas HAM memberikan beberapa catatan penting yang mesti dievaluasi lebih lanjut oleh pemerintah dan DPR.
Pertama, tindak pidana khusus, dalam hal ini genosida dan tindak kejahatan kemanusiaan ke dalam RKUHP dihapuskan. Komnas HAM mengkhawatirkan pasal tersebut menjadi penghalang adanya penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif karena adanya asas dan ketentuan yang tidak sejalan dengan karakteristik khusus genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Baca Juga: Disahkan di Rapat Paripurna Terdekat, Pimpinan DPR Akui RKUHP Tak Bisa Memuaskan Semua Pihak
Kedua, pasal-pasal yang berpotensi terjadinya diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia untuk diperbaiki. Dalam hal ini, pasal terkait, seperti ketentuan dalam pasal 300 tentang Hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan; ketentuan dalam pasal 465, 466, dan 467 tentang aborsi agar tidak mendiskriminasi perempuan; Tindak Pidana Penghinaan Kehormatan atau Martabat Presiden dan Wakil Presiden (rancangan pasal 218, 219, 220); Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebaran Berita atau Pemberitahuan Palsu, (rancangan pasal 263 dan 264); Kejahatan terhadap Penghinaan Kekuasaan Publik dan Lembaga Negara (rancangan pasal 349-350).
"Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran atas hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, berserikat dan berpartisipasi dalam kehidupan budaya sebagaimana dijamin dalam pasal 28 E UUD 1945 dan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya," katanya.
Baca Juga: Kominfo Ajak Publik Lebih Cermat Lewat Sosialisasi Antihoaks RUU KUHP
Terakhir, Uli juga meminta agar DPR dan Pemerintah tetap mendengarkan dan mempertimbangkan masukan publik terhadap RKUHP untuk memastikan perubahan dan perbaikan sistem hukum pidana tersebut tetap berada dalam koridor penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: