'PBB Lupa Etika dalam Diplomasi', Kemenlu Tepis Kritikan Tajam Soal KUHP: Jangan Koar-koar di Media
Pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengkritik pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang disahkan Selasa (6/12/2022) mendapat sentilan keras dari pemerintah.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah menuturkan, pemanggilan perwakilan PBB telah dilakukan kemarin pagi. Kata dia, pemanggilan itu merupakan bagian hubungan diplomasi.
Baca Juga: KUHP Baru Berikan Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Lebih Baik
“Ada baiknya perwakilan asing untuk tidak terburu-buru menyimpulkan (soal KUHP) dan menyampaikan pendapat dengan jalur diplomasi,” ujar Faizasyah, kepada awak media di Kantor Kemlu, Jakarta, kemarin.
Eks Duta Besar (Dubes) RI untuk Kanada itu menambahkan, pihaknya selalu terbuka dengan para perwakilan asing yang ingin menyampaikan pendapat. Karena menurutnya, itu merupakan adab diplomatik.
“Kami membuka kesempatan yang lebar,” tegasnya, tanpa menyebut nama perwakilan tersebut.
Menurut Faizasyah, selayaknya dalam komunikasi diplomatik, pendekatan yang dipakai tidak menggunakan media sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diklarifikasi.
“Dengan begitu, ada norma dalam hubungan diplomatik yang sepatutnya dilakukan perwakilan asing di suatu negara,” imbuh Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik (Dirjen IDP) Kemlu itu.
Kendati demikian, dia tidak merinci hal yang dibahas dalam pertemuan itu, agar pihak yang dipanggil bisa menyampaikan pandangan dan memberikan penjelasan.
Terkait kekhawatiran perwakilan PBB juga, pada kesempatan itu Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan, organisasi tersebut telah mengirimkan surat ke DPR. Surat itu diterima Komisi III DPR pada 25 November 2022.
“Ketika surat itu diterima, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP sudah mendapat persetujuan tingkat pertama sehari sebelumnya. Jadi sudah terlambat,” jelas pria yang akrab disapa Eddy itu.
Dalam surat itu, lanjutnya, PBB menawarkan bantuan. Terutama terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan persoalan HAM. Namun, Pemerintah dan DPR sudah sepakat. Apalagi, persetujuan tingkat pertama sudah dilakukan.
Terkait hal yang jadi perhatian PBB, pihaknya sudah menerima berbagai masukan dari masyarakat. Menurut Eddy, pasal penghinaan serta penyerangan harkat dan martabat itu sangat ketat diatur dalam penjelasan.
Bahwa yang dimaksud dengan penyerangan harkat dan martabat itu ada dua. Yakni menista dan fitnah. Tidak lebih dan tidak kurang.
Bahkan dalam penjelasan sudah dikatakan, bahwa pasal itu tidak dimaksudkan untuk membungkam demokrasi, kebebasan berekspresi,dan kebebasan berpendapat. Karena kritik dalam unjuk rasa itu sangat diperlukan bagi negara demokrasi sebagai kontrol sosial.
“Artinya dengan penjelasan pasal ini secara tidak langsung kita mengatakan bahwa kritik dan unjuk rasa itu boleh,” ucap Eddy.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto