Tentang Kritik Bupati Meranti ke Kemenkeu: Bukti Adanya Kesenjangan pada Hubungan Pusat dan Daerah
Pakar kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat berpendapat suara keras dari Bupati Kepulauan Meranti M Adil ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merupakan bukti adanya kesenjangan pada hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Seperti yang telah diketahui, Adil menyebut Kemenkeu diisi oleh iblis dan setan dalam Rapat Koordinasi Nasional Optimalisasi Pendapatan Daerah, di Pekanbaru, Riau, pada Kamis (8/12/2022). Kritik tersebut dilontarkan lantaran adanya ketidakadilan pembagian dana bagi hasil (DBH) minyak ke wilayahnya.
Berdasarkan pernyataan Adil, produksi minyak di Meranti terus mengalami peningkatan. Namun, jumlah DBH yang diterima justru terus menurun. Hal ini berdampak pada tingkat kemiskinan di wilayahnya, yang disebut oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai salah satu daerah termiskin pada Maret 2021 silam.
Oleh karena itu, Adil bersuara dengan lantang untuk meminta pemerintah menghentikan pengeboran di wilayahnya apabila ketidakadilan pembagian DBH masih terus berlangsung.
"Persoalan pembagian kue antara daerah dan pusat dari sejak masa orde baru memang sudah terjadi. Otonomi daerah pasca direformasi dibuat dalam rangka mengatasi ketimpangan antara pusat dan daerah. Namun, 24 tahun reformasi saat ini, yang terjadi justru banyak daerah yang merasa terjadi ketidakadilan antara pusat dan daerah," kata Achmad dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/12/2022).
Achmad menilai pemerintah pusat mengeksploitasi daerah yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang mumpuni dengan sistem bagi hasil yang berlaku, yakni hanya 15% penjualan SDA yang kembali ke daerah, sementara 85% sisanya masuk ke kantong pemerintah pusat.
"Dengan pembagian tersebut, hal yang wajar jika daerah menuntut jumlah yang lebih. Dan Bupati Meranti Muhammad Adil adalah salah satu kepala daerah yang berani bersuara lantang," ujarnya.
Dia melanjutkan ada kemungkinan bahwa suara M. Adil ini mewakili suara-suara kepala daerah lainnya yang juga mengalami ketimpangan dari pemerintah pusat. Pusat mengeksploitasi kekayaan alam daerah, sementara rakyat di daerah masih terjebak di zona kemiskinan.
"Mungkin mereka melihat betapa pemerintah pusat sibuk dengan proyek-proyek ambisius mercusuar, seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru. Sementara masyarakat yang mereka pimpin dan temui setiap hari, untuk makan saja mereka sulit," tutup Achmad.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: