Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Meski Sudah Dihapus, Masyarakat Harus Waspada pada Skema Power Wheeling dalam RUU EBT

        Meski Sudah Dihapus, Masyarakat Harus Waspada pada Skema Power Wheeling dalam RUU EBT Kredit Foto: Djati Waluyo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan masyarakat harus tetap waspada dan menolak dimasukkannya ketentuan skema power wheeling, yakni pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik PLN oleh IPP dalam daftar inventaris masalah (DIM) Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBT).

        Pasalnya, skema power wheeling akan memberi jalan kepada IPP mengambil porsi bisnis PLN (pelanggan premium), mengurangi kemampuan cross-subsidi antarwilayah, menyubsidi IPP, dan menambah cadangan.

        "Prinsipnya, skema ini hanya akan menguntungkan para investor atau IPP, atas nama dan alasan absurd, namun di sisi lain akan sangat merugikan negara atau APBN, BUMN atau PLN dan juga rakyat konsumen listrik," ujar Marwan dalam diskusi di kawasan Senayan, Rabu (14/12/2022).

        Baca Juga: Pengamat Sebut Tahapan untuk Mencapai RUU EBT yang Konstitusional

        Selain itu, ketentuan dalam RUU EBT terkait transisi dan peta jalan pengembangan energi harus dirumuskan lebih komprehensif, dan dielaborasi secara lengkap dan mendalam. 

        Menurutnya, rumusan yang dangkal dan formalitas akan membuka peluang terjadinya moral hazard yang merugikan negara, BUMN, dan pelanggan listrik. 

        "Dalam hal ini, terminasi dini sekitar 30-an PLTU (kapasitas sekitar 17 GW) tidak boleh dilakukan beralasan mitigasi perubahan iklim, sepanjang PLTU-PLTU masih layak ekonomi. Tingkat emisi GRK Indonesia relatif lebih rendah dibanding negara lain, sementara kompensasi dari negara untuk terminasi PLTU tersebut akan memberatkan APBN," ujarnya. 

        Kemudian juga diperlukan adanya tambahan ketentuan atau substansi terkait riset dan inovasi pengembangan teknologi EBT, terutama pengembangan industri dan produksi solar PV nasional bagi pembangunan PLTS secara masif ke depan.

        Hal tersebut perlu dilakukan sejalan dengan biaya levelised cost of energy (LCOE) PLTS global yang terus turun, dan potensi tenaga surya yang melimpah harus dimanfaatkan guna mendukung kedaulatan, ketahanan, dan kemandirian energi, sekaligus mengurangi impor komponen utama PLTS dan objek pasar produk asing. 

        Marwan menilai kebijakan industri PLTS atau solar PV ini harus sejalan dan terintegrasi dengan kebijakan dan ketentuan tentang TKDN.

        "Upaya strategis ini sudah dirintis oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan era Presiden SBY melalui pembentukan BUMN khusus, namun tampaknya diterminasi oleh kepentingan pro oligarki dan China. Menteri Perindustrian perlu masuk ke dalam Tim RUU EBT Pemerintah," ungkapnya.

        Lanjutnya, upaya meningkatnya liberalisasi sektor listrik nasional harus dicegah, terutama dengan memberi kesempatan kepada swasta atau IPP membangun pembangkit EBT dan menjual listrik kepada masyarakat, terutama konsumen premium dan kawasan industri.

        Salah satu contoh fatal adalah memberikan kesempatan kepada swasta oligarkis dan China membangun PLTA (potensi 10.000 MW) di sepanjang Sungai Kayan di Kaltim.

        "Kebijakan yang menihilkan kesempatan BUMN ini jelas mengkhianati Pasal 33 UUD 1945, serta menghilangkan NKRI dan rakyat menikmati listrik yang murah dan bersih," tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: