Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berupaya untuk dapat memberikan kepastian hukum untuk investor di bidang pembangkitan energi terbarukan dengan terus menggodok terbentuknya Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBT).
Rencana penggodokan RUU tersebut rasanya harus memperhatikan beberapa faktor untuk mendapat dukungan semua pihak.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun RUU tersebut, salah satunya adalah RUU EBT harus bebas dari motif dan kepentingan sempit dan merugikan, termasuk dari para penumpang gelap.
Baca Juga: Pengamat Sebut Ada Dugaan Moral Hazard dalam RUU EBT
"Semula RUU yang menjadi inisiatif DPD RI pada 2018 ini, dinamakan RUU ET (energi terbarukan). Maka mestinya konsisten dipertahankan," ujar Marwan dalam diskusi di kawasan Senayan, Rabu (14/12/2022).
Marwan mengatakan, RUU EBT harus menghilangkan ketentuan terkait dengan energi baru, terutama yang masih mengakomodasi penggunaan energi fosil. Ketentuan terkait program gasifikasi batu bara (DME) pada dasarnya tidak layak ekonomi, namun coba diseludupkan.
"Patut diduga sebelumnya, program DME telah digunakan (sebagai teaser) untuk memperoleh perpanjangan PKP2B menjadi IUP (dalam revisi UU Minerba Nomor 4/2009) dan ke depan digunakan untuk mengamankan kepentingan bisnis dan menjaga harga saham," ujarnya.
Di samping itu, proses gasifikasi batu bara justru menghasilkan net emisi GRK lebih besar. Sehingga, program tersebut tidak konsisten dengan target penurunan GRK atau ingin mangurangi emisi CO2 atau GRK, tapi yang dilakukan justru sebaliknya. Jika tetap ingin diatur, maka langkah paling tepat adalah merevisi UU Minerba dan UU Migas.
"Juga yang harus diwaspadai adalah upaya penyeludupan ketentuan untuk menghapus kewajiban DMO batu bara (volume dan harga)," ungkapnya.
Kemudian pemuatan ketentuan tentang pembangkit nuklir mestinya dihilangkan, terutama karena Indonesia telah membentuk UU Ketenaganukliran Nomor 10/1997. Selain itu, terlepas perlunya diversifikasi, praktis PLTN tidak prioritas dan masih lama untuk dibangun.
"Tersedia beragam alternatif energi terbarukan seperti panas bumi, air, dan tenaga surya yang semakin murah. Negara dan rakyat tidak boleh kalah oleh “agenda dan promotor” pembangkit PLTN," ucapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti