Tunggang-langgang Beri Kepastian Penegakan HAM Tak Buram dalam KUHP Berselimut Kontroversi
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Dhahana Putra, membantah paradigma negatif penegakan hukum dan HAM di Indonesia akan buram paska disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dia menegaskan KUHP justru akan memperkuat penegakan hukum dan HAM melalui pasal-pasal yang ada. Salah satunya, lanjut Dhahana, terkait pelanggaran HAM berat sebagaimana mengacu pada Undang-Undang No. 26 tahun 2000.
Baca Juga: Bantah Adanya Ketergesaan dalam Pembentukan KUHP, Yasonna Laoly: Lihatlah Sejarah!
"Kalau kita lihat Undang-undang 26 tahun 2000, itu ada dua tindak pidana. KUHP pun juga sama, tapi dalam konteks penegakan," jelas Dhahana saat ditemui wartawan, Kota Tangerang, Kamis (15/12/2022).
Dia menuturkan masyarakat tak perlu khawatir dengan penegakan hukum dan HAM, sebab KUHP telah dibentuk untuk memperkuat hal tersebut. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 187 dan Pasal 620.
"Jadi tidak perlu khawatir lagi," katanya.
Dhahana juga mengaku dirinya sempat terlibat dalam penyusunan Undang-Undang No. 26 tahun 2000 yang mengatur hukuman pidana paling lama 25 tahun bagi pelaku pelanggaran HAM berat, termasuk di dalamnya kasus genosida.
Kendati demikian, Dhahana menyebut Indonesia tidak memiliki ancaman pidana selama 25 tahun. Dia mengatakan ancaman pidana di Indonesia maksimal hanya 15 sampai 25 tahun.
"Itu pemberatan (kalau) 25 tahun. Itu nggak ada. Makanya kita perbaiki ini. Banyak hal yang memang kita perbaiki dari segi ancaman pidana maupun denda," jelasnya.
Sebelumnya, terdapat beberapa catatan dari lembaga pemerintah dan LSM yang berbasis penegakan HAM di Indonesia. Kritik-kritik tersebut disampaikan sebelum akhirnya KUHP disahkan, hingga disahkan DPR dan Pemerintah Pusat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI
Baca Juga: Orang Istana Tegas: KUHP Tidak Bertentangan dengan Demokrasi
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menuturkan KUHP menyatakan pemidanaan penjara untuk pelanggaran HAM berat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memasukkan prinsip retroaktif dan prinsip tidak mengenal daluarsa. Dengan kealpaan prinsip tersebut dalam RKUHP, Anies menilai pelanggaran HAM berat masa lalu bisa dianggap tidak pernah terjadi.
"Jadi apabila tidak memasukkan Asas Retroaktif dan Prinsip Tidak Mengenal Daluarsa, maka 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah selesai dilakukan penyelidikannya oleh Komnas HAM dapat dianggap tidak ada, bahkan tidak pernah terjadi," jelas Anis di Gedung Komnas HAM, Senin (5/12/2022).
Padahal, kata Anis, peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu terbukti adanya beserta para korban dalam kejadian tersebut. Selain itu, Anis juga menuturkan hukuman yang dikenakan para pelaku yang dinilai tidak memiliki efek jera.
"Maksimal penghukuman itu hanya 20 tahun, sehingga sifat kekhususan (extra ordinary crime) dari delik perbuatan pelanggaran HAM yang berat telah direduksi oleh tindak pidana biasa. Sehingga harapan atau cita-cita hukum untuk menimbulkan efek jera (aspek retributif) maupun ketidakberulangan menjadi tidak jelas," jelas Anis.
Baca Juga: Pasal Kontroversial KUHP Bikin Amerika dan Australia Gerah, Uni Eropa Kasih Respons Santai
Anis menilai RKUHP bisa melemahkan bobot kejahatan pelanggaran HAM berat, termasuk di dalamnya peristiwa-peristiwa genosida. Dia khawatir RKUHP berkonsekuensi mengubah kejahatan luar biasa menjadi biasa.
Amnesty International Indonesia
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai tidak berlebihan jika menyebut pemenuhan HAM tahun depan menjadi ujian yang sangat berat. Hal tersebut dia ungkap berdasarkan KUHP yang disahkan di atas kontroversi pasal yang dinilai bermasalah.
Menurut Usman, KUHP yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah berpotensi mencoreng penegakan hukum dari pelanggaran HAM di Indonesia. Bukan hanya itu, dia juga menilai KUHP berpotensi mencoreng reputasi Indonesia di mata dunia.
"Kita tahu bahwa hukum pidana yang baru bukan hanya mencoreng situasi penegakan hukum hak asasi manusia di Tanah Air, di tingkat nasional, tetapi juga telah mencoreng reputasi Indonesia di mata dunia," papar Usman dalam konferensi persnya di Kantor Amnesty International Indonesia, Jumat (9/12/2022).
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK)
Senada dengan Amnesty, Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Maria Catarina Sumarsih menilai penegakan hukum dan HAM di Indonesia sulit untuk diharapkan. Pasalnya, dia menyebut undang-undang pengadilan HAM yang sampai saat ini masih menjadi hukum yang positif.
"Oleh karena itu, masalah pelanggaran HAM berat seharusnya segera diselesaikan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam undang-undang pengadilan HAM," kata Sumarsih dalam konferensi persnya di Kantor Amnesty International Indonesia, Jumat (9/12/2022).
Baca Juga: Cegah Penyebaran Hoaks, Kominfo Ajak Penyuluh Informasi Publik Aktif Sosialisasikan KUHP Baru
Oleh sebab itu, dia meminta Komnas HAM agar tetap konsisten agar terus memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini dia juga meminta agar Komnas HAM mampu mendesak Jaksa Agung menggunakan pasal 21 ayat 3.
"Jadi masalah penyelesaian pelanggaran HAM berat sebenarnya tidak buntu, tinggal tergantung dari kemauan pemerintah, mau diselesaikan secara sesuai undang-undang berlaku ataupun diupayakan agar diselesaikan melalui penyelesaian di luar hukum," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: