Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Akhirnya Belanda Ngaku Bersalah Soal Perbudakan 250 Tahun di Masa Lalu

        Akhirnya Belanda Ngaku Bersalah Soal Perbudakan 250 Tahun di Masa Lalu Kredit Foto: Reuters/Kai Loyens
        Warta Ekonomi, Amsterdam -

        Belanda akhirnya meminta maaf atas peran historis kelamnya di pada masa kolonial, di mana mereka melakukan perbudakan hingga eksplorasi yang dimandatkan oleh negara pada abad ke-17 hingga 19.

        Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf resmi tersebut, menyarankan bahwa perbudakan harusnya diakui dengan 'istilah yang paling jelas' sebagai 'kejahatan terhadap kemanusiaan'.

        Baca Juga: Dulu Belanda dan Jepang Sampai Berdarah-darah Buat Kuasai Tanah, Eh Sekarang Jokowi Malah Obral Gede-gedean ke Asing

        Dalam pidatonya di Den Haag pada Senin (19/12/2022), Rutte mengakui bahwa masa lalu negaranya 'tidak bisa dihapus, tapi hanya bisa dihadapi'. Meski dalam hal ini, katanya, Belanda telah memberi kemungkinan, mendorong hingga mengambil keuntungan dari perbudakan.

        "Orang-orang telah dijadikan komoditas, dieksploitasi, dan diperdagangkan atas nama negara Belanda. 

        "Memang benar tidak ada yang hidup hari ini, yang menanggung kesalahan pribadi atas perbudakan ... Tapi negara Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan luar biasa dari mereka yang telah diperbudak, dan keturunan mereka. Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu," kata Rutte, sebagaimana dikutip The Guardian.

        Kata-kata Rutte juga akan digaungkan oleh para menteri Belanda, yang melakukan perjalanan ke tujuh bekas koloni di Amerika Selatan dan Karibia, di mana mereka telah menderita kesengsaraan yang tak terhitung selama 250 tahun perdagangan budak.

        Perbudakan selama berabad-abad yang digelorakan Belanda, bagaimanapun, telah membantu mendanai 'zaman keemasan' ekonomi dan budaya mereka.

        Permintaan maaf dan pengakuan atas perbudakan tersebut mengikuti kesimpulan dari panel penasihat nasional yang dibentuk setelah pembunuhan George Floyd di AS pada tahun 2020.

        Saat itu, panel menegaskan bahwa partisipasi Belanda atas perbudakan adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Karenanya, pantas bagi mereka untuk mengeluarkan permintaan maaf resmi dan reparasi keuangan.

        Pemerintah Belanda telah mengesampingkan reparasi, tetapi akan menyiapkan dana pendidikan senilai 200 juta Euro (Rp3,3 triliun).

        Namun, permintaan maaf resmi Belanda telah menimbulkan kontroversi yang cukup besar. Kelompok keturunan dan beberapa negara yang terkena dampak perbudakan telah melayangkan kritikan, menganggap Amsterdam terburu-buru.

        Mereka yang mengkritik juga berpendapat bahwa Belanda kurang melakukan konsultasi, dan ini menunjukkan bahwa sikap kolonial mereka masih melekat.

        Menurut para pegiat, permintaan maaf seharusnya datang dari raja Belanda, Willem-Alexander, dan dilakukan di bekas koloni Suriname, pada 1 Juli tahun depan, yang bertepatan dengan peringatan 150 tahun berakhirnya perbudakan Belanda di sana.

        Rutte, dalam pembelaannya, mengatakan bahwa untuk memilih momen yang tepat adalah 'masalah yang rumit'. Tidak ada satu pun waktu yang tepat untuk semua orang, katanya.

        Perbudakan secara resmi dihapuskan di semua wilayah luar Belanda pada tanggal 1 Juli 1863, menjadikannya sebagai salah satu negara terakhir yang melarang praktik tersebut. Namun, butuh satu dekade tambahan bagi mereka untuk mengakhiri perbudakan di Suriname karena masalah masa transisi wajib 10 tahun.

        PM Sint Maarten, salah satu dari empat negara konstituen yang membentuk Kerajaan Belanda di Karibia, mengatakan kepada media Belanda bahwa negaranya tidak akan menerima permintaan maaf Amsterdam, sampai komite penasihat pulau itu membahasnya dan mendiskusikannya.

        "Kami telah menunggu selama beberapa ratus tahun untuk mendapatkan keadilan reparatoris yang sebenarnya. Kami percaya bahwa kami dapat menunggu lebih lama lagi," tambah seorang aktivis Sint Maarten, Rhoda Arrindell.

        Kritikan juga dilayangkan Roy Kaikusi Groenberg dari Yayasan Kehormatan dan Pemulihan, sebuah organisasi Afro-Suriname Belanda. Menurut mereka, Belanda tidak menyediakan konsultasi yang cukup dengan para keturunan korban perbudakan, menyebut penanganan pemerintah Belanda atas persoalan ini sebagai masalah ini sebagai 'sendawa neokolonial'.

        Sejarawan memperkirakan bahwa pada puncak kerajaan abad ke-16 hingga ke-17, pedagang Belanda mengangkut dengan kapal hingga 600ribu orang Afrika yang diperbudak ke koloni Amerika Selatan dan Karibia seperti Suriname dan Curacao, dan jumlah yang sama atau bahkan lebih ke Afrika Selatan dan Hindia Timur, yang dalam masa modern disebut Indonesia. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: