Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ada Gaduh Perang Galon di Balik Isu BPA

        Ada Gaduh Perang Galon di Balik Isu BPA Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Isu mengenai bahaya Bisfenol A (BPA) air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan Polikarbonat (PC) atau galon guna ulang terus digulirkan pihak-pihak tertentu hingga kini. Tujuannya hanya satu, yaitu berusaha mengegolkan revisi Perka BPOM No.31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang bermaksud hanya untuk melabeli "Berpotensi Mengandung BPA" pada kemasan AMDK galon guna ulang meskipun banyak pihak yang menentangnya karena dinilai mengandung unsur persaingan usaha.

        Komisioner Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), Chandra Setiawan, melihat polemik isu BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. "Sebabnya, 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai," katanya, dikutip Rabu (1/2/2023).

        Baca Juga: Labelisasi Galon BPA Tak Bisa Ditunda, Masa Depan Generasi Muda Indonesia dalam Bahaya

        Hal senada juga disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan pakar hukum persaingan usaha, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH. M.Li. "Dalam rangka kesehatan boleh-boleh saja untuk jadi pertimbangan dalam membuat kebijakan. Namun, tetap harus dilihat juga dampaknya terhadap persaingan usahanya," katanya.

        Isu mengenai bahaya BPA galon guna ulang ini sudah digulirkan sejak tahun 2020 lalu oleh sebuah lembaga masyarakat yang menamakan dirinya Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL). Lembaga ini mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melabeli "Berpotensi Mengandung BPA" terhadap kemasan galon guna ulang dengan alasan bahwa kemasan galon ini tidak baik untuk kesehatan anak-anak. Sayangnya, tak ada satu bukti yang bisa ditunjukkan lembaga ini terkait bahaya kesehatan yang diakibatkan kemasan galon guna ulang itu.

        Malah, JPKL pernah kedapatan melakukan penipuan publik dengan mengeklaim menemukan tingkat migrasi BPA pada sampel galon isi ulang berkisar antara 2 hingga 4 parts per million (ppm) atau di atas batas toleransi yang diizinkan BPOM 0,6 ppm, dari uji laboratorium yang dilakukan TÜV NORD Indonesia Laboratories. Namun, saat itu TUV mengakui bahwa sampel yang digunakan untuk uji lab itu berasal dari JPKL yang kemungkinan tidak mewakili yang ada di pasaran.

        "Jadi, kalau penelitiannya bukan kita yang melakukan. Kita hanya menganalisis saja si produk galon guna ulang tersebut. Sampelnya itu dari yang meminta kita untuk melakukan uji lab. Jadi, sampelnya bukan dari kita juga tapi dari customer," demikian penjelasan TUV saat itu.

        Astari Yanuarti, Co-founder Indonesian Antihoax Education Volunteers (REDAXI) juga melihat adanya manuver lembaga-lembaga masyarakat yang terkesan digunakan industri pesaing untuk menjatuhkan pasar AMDK galon guna ulang ini baik melalui tulisan-tulisan berbayar maupun buzzer-buzzer berbayar di media sosial.

        "Penyebaran hoaks  itu tidak hanya dilakukan oleh buzzer, tapi semua orang bisa menjadi penyebar hoaks secara sadar maupun tidak. Motifnya beraneka rupa, ada yang karena uang, ideologi, kesehatan, kepedulian, politik, dan emosional," katanya.

        Kelompok-kelompok yang dinilai sebagai penyebar isu hoaks itu juga mencatut nama anggota DPR RI, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), akademisi, dokter, dan lembaga-lembaga pendidikan dengan memberitakan seolah-olah mereka mendukung pelabelan BPA galon guna ulang.

        Baru-baru ini saja Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengaku ada pihak-pihak yang melakukan framing terhadap dirinya terkait isu BPA ini. Dia mengatakan ada pihak-pihak yang membuat rilis palsu terkait pernyataannya di beberapa media. Dia merasa tidak pernah diwawancara terkait hal yang menyebut-nyebut soal isu BPA. "Waduuh.. ini ada yang framing.. ada mafia," ucapnya.

        Baca Juga: Riset FKP Unhas: Mikroplastik Lebih Banyak Ditemukan dalam AMDK Gelas Plastik, Bukan Botol atau Galon

        Kisruh soal isu BPA ini pun mengusik perhatian dari beberapa kementerian dan lembaga, para ilmuwan, dan juga kalangan medis atau para dokter. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, langsung menegaskan bahwa kemasan AMDK galon guna ulang sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) dan izin edar sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat. Karenanya, dia sangat menyayangkan adanya upaya-upaya dari pihak-pihak tertentu yang menghembuskan isu terkait bahaya Bisfenol A (BPA) di salah satu produk AMDK di masyarakat.

        Dunia kedokteran dan pakar kimia pun memberikan pendapatnya terkait BPA yang terdapat dalam galon guna ulang ini. Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD-KHOM, FINASIM, FACP mengatakan belum ada bukti air minum dalam kemasan itu menyebabkan penyakit kanker.

        Dr. M. Alamsyah Aziz, SpOG (K), M.Kes., KIC, dokter spesialis kandungan yang juga Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), juga mengatakan sampai saat ini dirinya tidak pernah menemukan adanya gangguan terhadap janin karena ibunya meminum air minum dalam kemasan.

        Dr. Ahmad Zainal, pakar polimer dari ITB juga menyayangkan adanya narasi yang salah dalam memahami kandungan BPA dalam AMDK yang dihembuskan pihak-pihak tertentu akhir-akhir ini. Sebagai pakar polimer, dia melihat kemasan yang mengandung BPA itu merupakan bahan plastik yang aman.

        Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik yang juga Kepala Laboratorium Green Polymer Technology Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng., menegaskan pada dasarnya kemasan ini secara disain material bahan bakunya relatif aman untuk AMDK dengan jumlah kali guna-ulang tertentu, yang memperhatikan sifat-sifat fungsionalnya seperti migrasi BPA sebagai sisa bahan baku atau hasil degradasi dari polikarbonat pada kemasan tersebut.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: