Momen Mahfud MD Geleng-geleng Dengar Kejujuran Bambang Pacul Akui 'Perintah Juragan' Saat Tolak UU Perampasan Aset
Pernyataan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul saat menyampaikan penolakan terhadap UU Perampasan Aset di depan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjadi kontroversi.
Saat Rapat kerja antara Komisi III DPR dan Menko Polhukam Mahfud MD pada Rabu (29/3/2023), Bambang Pacul menekankan, lobi atas UU Perampasan Aset tidak bisa dilakukan di DPR RI karena anggota-anggota DPR patuh terhadap ketua-ketua umum partai mereka masing-masing.
"Republik di sini ini gampang Pak Senayan ini, lobinya jangan di sini Pak, ini korea-korea ini nurut bosnya masing masing, di sini boleh ngomong galak Pak, Bambang Pacul ditelepon Ibu (Megawati), 'Pacul berhenti', ya siap, laksanakan," kata Bambang yang direspons gelengan kepala oleh Mahfud namun disambut gelak tawa oleh anggota DPR yang ada dalam ruang rapat.
Bambang mengungkapkan, UU Perampasan Aset bisa saja didukung, tapi para wakil rakyat di DPR tetap harus bicara dulu ke ketum parpol masing-masing. Oleh karena itu, ia baru siap mendukung UU Perampasan Aset jika itu perintah ketum parpol atau disebutnya sebagai juragan.
"Mungkin (UU) Perampasan Aset bisa, tapi harus bicara dengan ketum partai dulu, kalau di sini tidak bisa Pak. Jadi, permintaan jenengan (Anda) langsung saya jawab, Bambang Pacul siap kalau diperintah juragan, mana berani Pak, sama toh, lah iya, itu," ujar Bambang.
Pada kesempatan itu, Bambang Pacul juga menolak permintaan Mahfud MD untuk mendukung UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Bambang menilai, jika memakai e-wallet yang maksimal isinya cuma Rp 20 juta, anggota-anggota DPR tidak akan bisa terpilih kembali di pemilu.
"Kalau Pembatasan Uang Kartal ini DPR ini nangis semua," kata Bambang.
Jawaban Bambang Pacul itu langsung menuai sorotan publik. Di YouTube, misalnya, warganet memenuhi hampir setiap kolom komentar dari video-video yang diposting banyak akun. Banyak komentar tidak cuma berisi dukungan kepada Menko Polhukam Mahfud MD.
Banyak pula hujatan warganet kepada DPR RI yang diingatkan bahwa mereka merupakan perwakilan dari rakyat. Bukan sekadar wakil-wakil dari partai politik yang patuh perintah ketua-ketua partai politik sebagai juragan mereka.
Merespons viralnya Bambang Pacul, Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengaku prihatin melihat DPR RI hari ini. Menurutnya, anggota-anggota DPR yang dipilih oleh rakyat, kini tidak bisa diharapkan bicara atas nama rakyat.
"Anggota DPR yang dipilih rakyat, tidak bisa diharapkan untuk bicara atas nama rakyat karena sangat bergantung kepada elite partai atau ketua umum parpol," kata Lucius kepada Republika, Sabtu (1/4/2023).
Ia berpendapat, semua ini merupakan kondisi yang sama kehadiran pengaruh oligarki dengan kemunculan upaya-upaya mengubah sistem pemilihan umum. Dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup untuk Pemilu 2024 nanti.
Lucius melihat, kondisi ini akan semakin memperparah kinerja anggota-anggota DPR RI. Sebab, ia menekankan, penerapan sistem proporsional tertutup akan membuat penentuan orang-orang yang duduk di DPR RI akan ditentukan partai politik.
Menurut Lucius, kondisi demokrasi perwakilan di Indonesia hari ini menyedihkan karena rakyat cuma memilih wakil-wakil yang nantinya cuma akan diikat partai. Apalagi, Bambang Pacul tidak cuma menolak memperjuangkan UU Perampasan Aset.
Bambang, lanjut Lucius, menolak untuk memperjuangkan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal karena akan menyulitkan anggota-anggota DPR terpilih kembali. Lucius berpendapat, itu menunjukkan pula kalau praktik politik uang masih terjadi.
"Pernyataan Bambang Pacul mengonfirmasi kalau uang senjata utama anggota-anggota DPR untuk meraih dukungan atau memenangkan pemilihan," ujar Lucius.
Apa itu UU Perampasan Aset? Pakar Hukum Universitas Trisakti, Prof Abdul Fickar Hadjar mengatakan, secara terminologi perampasan aset itu dimaksudkan negara merampas aset-aset hasil kejahatan. Dalam konteks yang dibicarakan Mahfud di DPR, UU Perampasan Aset nantinya diharapkan bisa menjadi dasar hukum bagi aparat penegak hukum merampas aset koruptor alias memiskinkan koruptor demi efek jera terhadap korupsi.
Selama ini, aset yang disita dan dirampas oleh penegak hukum pada akhirnya harus melalui putusan pengadilan. Jadi, aset itu berpindah tangan kalau ada lembaga, peristiwa hukum atau putusan pengadilan, baru bisa disita atau bisa dilelang.
Artinya, lewat UU Perampasan Aset, Indonesia menciptakan sistem baru atau lembaga baru dalam penegakan hukum. Sebab, pada dasarnya dalam penegakan hukum perdata sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan untuk menyita, melelang dan memberikan hasilnya kepada yang berhak.
Sedangkan, untuk pidana dilakukan penegak hukum seperti Kejaksaan, KPK, Polri yang bisa merampas aset tersangka atau terdakwa. Tapi, ketika akan dipindahtangankan, seperti perdata, semua tetap harus melalui putusan pengadilan.
"Dengan kita mengusulkan adanya UU Perampasan Aset, apakah juga undang-undang ini akan melegalkan, umpamanya begitu aset dirampas oleh negara, kemudian ada prosesnya lagi langsung menjadi milik negara tanpa harus ada proses peradilan," kata Fickar saat mengisi diskusi Forum Legislasi di Media Center DPR RI.
Melalui UU Perampasan Aset, di satu sisi kepentingan hak-hak masyarakat dijaga. Di sisi lain, undang-undang turut memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas aset masyarakat.
Selama ini, Kejaksaan memiliki kewenangan walau kurang aktif karena cuma menyita aset-aset yang memang perkara korupsi atau pidana. Ketika ada perkara Kejaksaan bisa menyita, tapi yang menentukan bisa dirampas atau tidak tetap pengadilan.
"Saya kira ide mengenai UU Perampasan Aset saya kira bisa mengawinkan kewenangan-kewenangan itu," ujar Fickar.
Nantinya, bunyi UU Perampasan Aset sama dengan putusan pengadilan. Jadi, tinggal mengeksekusi walau tetap harus ada proses. Tapi, perlu keseimbangan perlindungan kepada aset masyarakat dan keleluasaan negara merampas aset hasil tindak pidana.
Dalam perkara perdata, ada lembaga yang namanya parate eksekusi. Itu merupakan perjanjian yang tidak harus memakai proses peradilan, perjanjian yang dibuat di notaris yang bisa langsung eksekusi, tidak harus ada proses pengadilan panjang.
Namun, dalam perkara pidana mungkin nantinya ada satu lembaga yang memberikan di satu sisi kewenangan kepada negara untuk merampas aset masyarakat. Dengan syarat itu memang hasil tindak pidana, tanpa proses peradilan dan menjadi hak negara.
"Itu yang yang saya kira problemnya di situ karena kalau harus pakai putusan pengadilan sampai sekarang ada namanya sita, menyita kemudian melelang, itukan merampas juga sebenarnya, tapi tetap harus ada dasar putusan pengadilannya," kata Fickar.
Untuk saat ini, Fickar menyarankan, segera dipikirkan untuk menciptakan satu lembaga yang bisa merampas aset (koruptor) tanpa harus ada keputusan pengadilan. Tetapi, Fickar menekankan, itu harus kuat pula secara hukum, memiliki dasar sosiologis, memiliki dasar yuridis.
Kalaupun ada lembaga baru harus pula diperhatikan hak-hak orang yang dirampas. Misal, memberi definisi jelas terhadap status aset yang dirampas seperti kredit mobil, yang mana perampasan aset itu sebenarnya sudah dilakukan debt collector.
Selama ini, debt collector mengambil mobil atau motor kredit tanpa putusan pengadilan. Tapi, tidak ada lembaga yang melegalkan karena bisa pula melawan hukum. Sebab, untuk kepemilikan kendaraan itu sebenarnya sudah pindah ke debitur, walau belum lunas.
Terobosan mungkin akan dimunculkan oleh UU Perampasan Aset ini tanpa ada proses pengadilan terhadap aset-aset tertentu yang nanti dikualifikasi secara teknis. Jadi, bisa dirampas negara atau lembaga yang memberikan kredit dan sebagainya.
Fickar merasa, UU Perampasan Aset ini pikiran baru untuk mempercepat roda putaran ekonomi agar keduanya terlindungi. Masyarakat di satu sisi terlindungi dalam berusaha, di sisi lain negara bisa mempertahankan kehidupan kelembagaannya.
"Ada keseimbangan antara hak masyarakat dengan hak negara dan Undang-Undang Perampasan Aset hendaknya mengakomodir dua kepentingan itu," ujar Fickar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: