Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat pada laporan mingguan 27 Mei lalu mengklaim pengangguran awal Amerika Serikat mencapai 232.000. Angka ini naik dibandingkan dengan pekan sebelumnya, yaitu mencapai angka 230.000 dan berada di bawah ekspektasi pasar 235.000.
Namun, angka ini adalah yang tertinggi dalam empat minggu. Rata-rata pergerakan empat minggu adalah 229.500, turun 2.500 dari rata-rata revisi minggu sebelumnya.
Angka klaim pengangguran awal yang turun tersebut mengindikasikan bahwa perekonomian Amerika Serikat masih solid. Selain itu, ini juga menunjukkan bahwa daya beli masyarakat akan baik ke depan sehingga akan memengaruhi laju inflasi.
Baca Juga: Bukan Lagi Warning, Eks Menkeu Amerika Sebut The Fed Sudah Tamat karena...
Di lain sisi, The Fed beberapa waktu yang lalu menaikkan suku bunga di angka 5,25%. Hal ini kemudian menimbulkan kecurigaan dari pelaku pasar bahwa ini adalah kali terakhir The Fed menaikkan suku bunga.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Ekonom di Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menjelaskan bahwa perpolitikan Amerika Serikat saat ini dipimpin oleh dua kutub yang sangat ekstrem. Hal ini yang kemudian membuat negosiasi kenaikan plafon utang menjadi sulit sehingga berdampak kepada perekonomian yang lesu.
“Yang saya dengar itu aspek politik luar biasa. Di Demokrat itu yang berkuasa itu sangat kanan sekali, yang di Republik itu kiri sekali. Jadi, ada suatu perdebatan politik yang luar biasa. Menteri Keuangan Yellen sudah mengingatkan ini bisa habis (bangkrut) pada 4 Juni,” kata Budi, dikutip dari kanal Youtube Rivan Kurniawan pada Selasa (6/6/2023).
Hal ini kemudian berimplikasi pada menurunnya tingkat kredit Amerika Serikat seperti yang terjadi pada tahun 2011.
“Ada suatu indikator risiko gagal bayar di Amerika, yaitu CDS atau premi atas gagal bayar. Sekarang itu tertinggi dalam sejarah, lebih tinggi dari 2008 dan 2020. Ada kemungkinan lembaga pemerintah akan downgrade rating-nya Amerika, persis seperti tahun 2011 atau 2012,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa krisis di Amerika Serikat atau di Eropa akan berdampak ke perekonomian negara-negara lain. Namun, ia melihat bahwa kenaikan suku bunga ini akan menguntungkan Indonesia.
“Krisis itu kayak gantian, sekarang itu crisis in the west, affecting the rest. Prancis ketika kemungkinan Presiden Macron ini gagal melakukan reformasi fiskal, memperpanjang usia orang pensiun, itu tekanan fiskalnya besar. Amerika juga akan mengalami hal yang sama. Itu akan menjadi kabar baik buat Indonesia,” jelas Budi.
Lebih lanjut, Budi mengatakan bahwa disiplin fiskal Indonesia lebih baik daripada Amerika Serikat. Menurutnya, Indonesia seharusnya bisa saja mendapatkan bond yield (hasil investasi) utang yang lebih murah.
“Indonesia itu sudah fiscal discipline, kita juga debt (utang terhadap PDB) hanya 41%, sementara mereka di atas 100 PMI (Indeks Manajer Pembelian) kita di atas 50-52, daya beli kita, seharusnya kita bisa diganjar lebih murah (bond yield),” tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti