Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Picu Masalah Sosial, Pemerintah Diminta Copot Pasal Soal Tembakau di RUU Kesehatan Omnibus Law

        Picu Masalah Sosial, Pemerintah Diminta Copot Pasal Soal Tembakau di RUU Kesehatan Omnibus Law Kredit Foto: Antara/Adeng Bustomi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Penyetaraan produk hasil tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law dinilai bisa melumpuhkan prinsip keadilan di negara Republik Indonesia. Lebih dari itu, berpotensi memicu kekacauan mengingat sejarah panjang dan fakta yang berlaku di masyarakat.

        Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) M. Yahya Zaini mengatakan, pihaknya dengan tegas menolak penyetaraan produk tembakau dengan narkotika sebagaimana tertulis dalam pasal 154 RUU dimaksud.

        Baca Juga: Tren Konsumsi Beralih, Rokok Murah Bermunculan, Penerimaan Cukai Hasil Tembakau Berkurang

        "Berlebihan dan tidak adil," ucapnya dalam diskusi bertajuk "RUU Kesehatan & Masa Depan Produk Tembakau", dikutip dari siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (16/6/2023).

        Sebab, kata Yahya, pada satu sisi produk hasil tembakau merupakan salah satu pahlawan keuangan negara. Pada 2022 saja, Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang diterima negara mencapai lebih dari Rp200 triliun. Tepatnya Rp218,62 triliun atau lebih dari 10% dari total penerimaan pajak negara.

        Meski begitu, di sisi lain, pemerintah dinilainya selalu memberikan "rintangan" kepada Industri Hasil Tembakau (IHT) dengan secara terus-menerus memperketat regulasi. "Karena itu pemerintah selama ini selalu ambivalen (sikap bertentangan) melihat tembakau ini. Ini kan tidak bagus," tegasnya.

        Yahya menentang tegas bunyi pasal 154 RUU Kesehatan Omnibus Law bukan saja karena faktor ekonomi. Sebab, faktanya memang tidak bisa disetarakan karena memiliki dampak yang jauh berbeda, dan legalitas yang bertolak belakang.

        Lebih dari itu, menurutnya, bisa berdampak besar terhadap aspek sosial. "Jangan lupa, pekerja yang terlibat dalam produk tembakau ini sekitar 2 juta orang baik langsung maupun tidak langsung. Padat karya," terusnya.

        Maka, Yahya yang berasal dari Fraksi Golkar ini bertekad memperjuangkan nasib masyarakat yang bekerja di dalam industri hasil tembakau tersebut. "Kalau ini diloloskan, akan ada pengaturan yang lebih ketat lagi di PP (Peraturan Pemerintah) sebagai aturan turunannya. Ini yang berbahaya. Kami akan berusaha melakukan pembicaraan agar masalah ini dikeluarkan. Kalaupun tetap dimasukkan, tidak disetarakan dengan narkotika dan psikotropika," tekadnya.

        Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, pada kesempatan yang sama sependapat bahwa dampak sosial perlu menjadi perhatian bagi pemerintah. "Ini harus ditolak karena akan jadi beban berat bagi kita semua," tegasnya.

        Sebab, menanam tembakau dan mengonsumsi hasil tembakau sudah berlangsung secara turun temurun sehingga menjadi bagian dari budaya dan kebiasaan masyarakat. Jika tiba-tiba disamakan dengan narkotika, dikhawatirkan terjadi benturan di masyarakat.

        Baca Juga: Kisruh Tembakau Disamakan dengan Narkoba: Pasal dalam RUU Omnibus Kesehatan Tidak Harmonis

        Belum lagi berkaitan dengan melihat tembakau dan produk turunannya sebagai bagian dari warisan budaya bangsa. "Kalau disetarakan dengan narkotika, yang terkena langsung adalah para petani tembakau khususnya di Jateng (Jawa Tengah) dan Jatim (Jawa Timur) yang hidupnya turun-temurun sejak zaman Belanda," ujar Trubus.

        Pemerintah disarankan untuk lebih mengedepankan aspek perlindungan terhadap produk tembakau ketimbang menyetarakannya dengan narkotika. "Jadi, bisa berjalan dan berkembang. Bagaimanapun juga, perlindungan harus diutamakan. Petani dan industri di dalamnya itu sudah terjadi simbiosis mutualisme. Itu yang harus dilindungi. Dibina, bukan dibinasakan," imbuhnya.

        Terlebih, lanjut Trubus, produk tembakau sebagaimana sudah ditetapkan dalam peraturan-peraturan sebelumnya dan diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah produk yang dilarang. Bertolak belakang dan jauh berbeda dengan narkotika dan psikotropika yang dilarang.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: