Nilai Valuasi Perusahaan Makin Tinggi, Masalah Kesejahteraan Buruh dan Budaya Jadi Tantangan Uniqlo?
Belakangan ini, banyak toko retail fesyen yang gulung tikar karena tidak mampu menarik banyak pelanggan. Namun, Uniqlo justru terus menambah jumlah tokonya yang membuat Fast Retailing sebagai perusahaan induk Uniqlo memiliki valuasi sebesar 105 miliar dolar AS per Maret 2021. Dengan demikian, untuk pertama kalinya Uniqlo bisa menyalip valuasi rivalnya, yaitu Zara.
Namun, dengan pertumbuhan tersebut, Uniqlo juga dihadapkan pada masalah-masalah, terutama pada aspek kesejahteraan buruh dan perbedaan budaya Jepang dengan negara lain.
Baca Juga: 15 Ide Bisnis Inovatif dalam Young Social Entrepreneurs Global 2023
CEO dan Co-founder di Corporate Innovation Asia (CIAS) Indrawan Nugroho menjelaskan, Uniqlo sempat menjadi sorotan pada tahun 2015 ketika beredar kabar yang mengatakan bahwa terjadi pelanggaran hak buruh di perusahaan pemasok Uniqlo yang berlokasi di China. Setelah kabar ini beredar, Uniqlo berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut.
"Seperti bisnis lain pada umumnya, tentu saja Uniqlo tidak luput dari masalah dan tantangan. Salah satu masalah yang mengadang mereka terjadi pada tahun 2015 di China ketika muncul dugaan adanya pelanggaran hak buruh di perusahaan pemasok Uniqlo," katanya.
"Tentu saja kasus ini menjadi sorotan dan Uniqlo berjanji untuk menanganinya. Namun, berdasarkan hasil investigasi yang kemudian dilakukan, ternyata baru sebagian masalah itu yang selesai ditangani dan sayangnya pelanggarannya masih terus terjadi," kata Indrawan, dikutip dari kanal Youtube-nya pada Minggu (18/06/2023).
Organisasi hak asasi manusia (HAM) seperti Students and Scholars Against Corporate Misbehavior (SACOM) dan War on Want dalam laporannya pada tahun 2016 mengatakan bahwa terjadi pelanggaran hak buruh di pabrik di China dan Kamboja, seperti lembur yang berlebihan, upah rendah, kondisi kerja yang berbahaya, dan manajemen represif.
"Uniqlo juga dikritik karena kondisi kerja yang buruk di pabrik-pabrik mereka. SACOM dan War on Want dalam laporannya pada tahun 2016 menyebutkan adanya lembur berlebihan, upah rendah, kondisi kerja yang berbahaya, dan manajemen represif di pabrik-pabrik mereka di China dan Kamboja. Laporan itu tentu saja membuat banyak pihak prihatin tentang kesejahteraan pekerja dan hak-hak buruh dalam rantai pasokan Uniqlo," terangnya.
Di luar kasus kesejahteraan buruh, Indrawan mengatakan bahwa faktor perbedaan geografis dan budaya juga menjadi tantangan Uniqlo dalam mengekspansi bisnisnya. Masalah ini terletak pada jauhnya jarak antara kantor pusat dengan perusahaan pemasok Uniqlo.
"Di luar kasus yang berindikasi hukum, Uniqlo juga harus menghadapi berbagai tantangan lain. Sewaktu berekspansi ke Eropa misalnya, tantangan soal perbedaan geografis dan budaya antara Jepang dan negara-negara di Eropa, Uniqlo ditantang harus bisa beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan yang ada serta mengatasi masalah logistik yang timbul akibat jauhnya jarak antara kantor pusat dengan para pemasok mereka," katanya.
Tak hanya itu, masalah tren mode juga menjadi masalah Uniqlo di masa depan. Dengan demikian, Uniqlo dituntut dapat bisa meyakinkan pelanggan dengan cara mengedukasi mereka tentang strategi bisnis Uniqlo yang lebih mengedepankan kualitas dibandingkan dengan tren fesyen.
"Tidak hanya di Eropa, Uniqlo harus beradaptasi karena pelanggan di luar Jepang pada umumnya harus mendapatkan edukasi tentang nilai-nilai jual yang unik dan strategi bisnis Uniqlo, misalnya tentang konsep mode yang umumnya mengikuti tren, padahal Uniqlo lebih berfokus pada model-model produk yang tidak mudah rusak," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: