Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Celios: Mayoritas Masyarakat Indonesia Tidak Tahu Soal JETP

        Celios: Mayoritas Masyarakat Indonesia Tidak Tahu Soal JETP Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat sebagian besar masyarakat Indonesia tidak memahami adanya pendanaan transisi energi melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar atau sekitar Rp314 triliun.

        Riset yang dilakukan oleh Celios dengan melibatkan 1.245 orang responden yang tersebar secara nasional mengungkapkan terdapat 76% masyarakat yang tidak mengetahui adanya JETP. 

        "Komitmen pendanaan transisi energi berkeadilan atau JETP senilai US$20 miliar atau Rp314 triliun mendapat beragam tantangan. Salah satunya pengetahuan yang minim soal JETP membuat ruang partisipasi publik menjadi terbatas," ujar Direktur Eksekutif dan Ekonom Celios, Bhima Yudhistira dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (5/7/2023).

        Baca Juga: Dapat Pendanaan dari JETP, PLN Siap Garap 522 Proyek Hijau sampai 2030

        Bhima mengatakan, meskipun JETP mengangkat terkait urgensi pensiun dini PLTU batu bara dan percepatan transisi energi bersih, namun isu JETP masih belum dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

        Berdasarkan sebaran wilayah, informasi terkait JETP lebih dipahami oleh masyarakat di Bali dibanding daerah lain.

        "Hal ini mengindikasikan bahwa informasi JETP lebih dikaitkan event G20, sehingga persebaran informasi tindak lanjut komitmen transisi energi berkeadilan dipersepsikan belum merata," ujarnya. 

        Bhima melanjutkan, hasil survei menunjukkan pemahaman masyarakat mengenai JETP masih sangat rendah dan cenderung terpusat pada masyarakat di wilayah dan kelas ekonomi tertentu. 

        "Padahal masyarakat yang terimbas dengan adanya penutupan PLTU misalnya di Kalimantan sebagai pemasok batu bara dan di daerah tempat PLTU beroperasi perlu terlibat aktif dalam merumuskan program JETP. Idealnya sebelum Comprehensive Investment Plan (CIP) diluncurkan, masyarakat terdampak bisa memahami dan ikut aktif dalam perumusan program," ucapnya. 

        Survei tersebut juga menunjukkan bahwa mayoritas atau 53% perempuan memiliki kecenderungan mendukung penutupan PLTU batu bara dan transisi ke EBT secara paralel. 

        Sayangnya program transisi energi bisa terhambat karena masyarakat menilai terdapat sumber energi yang masih dominan. Sebanyak 32% menyebut batu bara sebagai sumber penghambat transisi energi utama, disusul 26% minyak bumi, 26% nuklir, dan 11% gas. 

        Dalam proses transisi, masyarakat juga menilai penggunaan nuklir, co-firing PLTU, gasifikasi batu bara, dan geothermal sebagai solusi yang harus dihindari. 

        Salah satu alasannya terkait proses transisi energi perlu dijaga agar menerapkan prinsip berkeadilan dan tidak menimbulkan permasalahan lingkungan baru yang berisiko bagi masyarakat. 

        Temuan menarik lain dari survei opini JETP adalah ketertarikan perempuan dalam pekerjaan yang berkaitan dengan transisi energi cukup rendah. Sebanyak 48% responden perempuan mengatakan tidak tertarik bekerja di sektor yang terkait transisi energi, seperti energi terbarukan. 

        “Ada bias gender dalam transisi energi yang perlu dicermati oleh pemerintah karena seolah transisi energi adalah pekerjaan laki-laki yang sifatnya teknis. Padahal perempuan bisa terlibat juga, misalnya dalam pengembangan instalasi panel surya skala rumah tangga dan pembangkit mikro-hidro," ungkapnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: