Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Berpotensi Merugikan Negara dan Tak Ada Perlindungan Konsumen, Pemerintah Diminta Segera Tertibkan Social Commerce

        Berpotensi Merugikan Negara dan Tak Ada Perlindungan Konsumen, Pemerintah Diminta Segera Tertibkan Social Commerce Kredit Foto: Unsplash/Alex Ware
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah dinilai perlu segera menertibkan social commerce, untuk memastikan persaingan usaha sehat pada industri perdagangan elektronik (e-commerce).

        Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, mengatakan setidaknya ada empat hal yang dapat diselamatkan dengan adanya penertiban social commerce.

        Pertama, potensi kerugian negara dari pajak transaksi yang tidak dilaporkan oleh aplikasi. Kedua, potensi penipuan terhadap konsumen, baik dari sisi produk maupun dari sisi transaksi pembayaran.

        Ketiga, tidak adanya perlindungan kerahasiaan data konsumen. Keempat, terjadi persaingan usaha tidak sehat dengan perusahaan perdagangan elektronik (e-commerce).

        Untuk itu, Pemerintah diminta memastikan terciptanya pesaingan usaha yang sehat dan adil bagi semua pelaku perdagangan digital, baik e-commerce maupun social commerce.

        Nailul Huda, mengatakan bentuk penyetaraan bisa dari pajak, keamanan data pelanggan, hingga perlindungan pelaku usaha dalam negeri.

        Baca Juga: Senang Bikin Tekor UMKM, CeIios Minta Pemerintah Turun Tangan Atur Social Commerce

        Semua aktor penjualan online harus taat ke aturan terkait, termasuk ke PP Nomor 80 Tahun 2019 mengenai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

        “Kami mendorong adanya persaingan usaha yang sehat dan fair dari semua pelaku penjualan digital dari baik dari ecommerce maupun social commerce,” jelasnya, di Jakarta, Sabtu (8/7/2023).

        Lebih jauh, Nailul Huda mengatakan penyetaraan ini untuk mewujudkan industri yang sehat pula di penjualan secara online. “Jika ecommerce dikenai pajak, maka social commerce juga harus sama,” jelasnya.

        “Dari sisi perlindungan konsumen, data pengguna juga harus sama-sama punya penyetaraan aturan perlindungan data pribadi. Begitu juga dengan upaya meminimalisir penipuan, di mana di ecommerce sudah aware terhadap hal tersebut,” ujarnya.

        Dia mengatakan di social commerce belum terlihat adanya kepastian soal perlindungan konsumen, sehingga transaksi yang sifatnya person to person (P2P) dengan dimediasi oleh platform media sosial, rentan terhadap penipuan.

        Nailul Maka dari itu, revisi Permendag terkait PMSE harus memasukkan unsur social commerce juga.

        Kebijakan ini, jelasnya, diperlukan untuk memaksa social commerce menyesuaikan diri terhadap aturan yang sama dengan ecommerce.

        “Maka dari itu, revisi Permendag terkait PMSE harus memasukkan unsur social commerce juga. Hal tersebut guna memaksa social commerce complie terhadap aturan yang sama dengan ecommerce,” jelasnya.

        Dia juga menilai social commerce harus dipisahkan dari platform sosial media, sehingga tidak ada ranah habu-abu dalam transaksi perdagangan elektronik.

        Huda mencontohkan platform media sosial TikTok yang telah merilis TikTop Shop sebagai ecommerce. Namun, karena dalam penggunaannya digabungkan ke dalam media sosialnya, maka kegiatan social commerce yang berpotensi tidak dilaporkan transaksinya juga besar.

        “Itu juga yang akhirnya membuat TikTok launching TikTok Shop. Tapi saya rasa transaksi di luar itu masih banyak juga,” jelasnya.

        Baca Juga: Social Commerce Evermos Raih Dana Segar Rp598 Miliar dari IFC

        Seperti diketahui, Tiktok sebagai sosial media menjalankan bisnis berupa penjualan gift yang dapat diberikan sebagai hadiah kepada pengguna lain yang sedang melakukan LIVE streaming dalam aplikasinya.

        Sebagai sosio-commerce tiktok mengizinkan pedagang menyematkan link toko online mereka dalam kontennya. Sosial Commerce berbeda dengan lapak e-commerce, karena hanya standby sebagai etalase dan transaksi yang terjadi dilakukan secara langsung oleh penjual dan pembeli.

        Ini juga yang dilakukan oleh Instagram dan Facebook yang menyediakan fitur toko sebagai etalase untuk mempromosikan produk. Namun, Instagram dan Facebook tidak menjadi perantara transaksi alias tidak bertanggung jawab atas yang terjadi selanjutnya.

        Itu sebabnya Sosial Commerce disebut masih minim perlindungan dari sisi

        konsumen, karena transaksi dan pengantaran barang bukan menjadi tanggung jawab

        penyedia platform.

        Tiktok mulai memasuki bisnis ecommerce dengan mengantongi izin dari Kemendag. Uniknya, ecommerce Tiktok berada di dalam satu aplikasi yang bergerak sebagai Sosial Media. Tidak adanya aturan mengenai aplikasi Sosial Media dan ecommerce harus dipisah, berpotensi menjadi permasalahan ke depan. Terlebih terkait soal pengawasan dan penindakan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: