Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pentingnya Strategi Pelonggaran Ekspor Nikel Mentah secara Bertahap

        Pentingnya Strategi Pelonggaran Ekspor Nikel Mentah secara Bertahap Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah perlu merancang strategi pelonggaran ekspor nikel mentah secara bertahap. Ketika iklim investasi sudah terbentuk, investasi yang masuk sudah cukup banyak, dan efisiensi dalam produksi nikel olahan sudah tercapai, kebijakan larangan ekspor sebaiknya mulai dilonggarkan secara perlahan.

        "Pemerintah perlu mempersiapkan strategi pentahapan dalam melonggarkan ekspor nikel mentah. Tujuan awal dari adanya pelarangan ekspor adalah agar bahan baku tersedia sesuai yang dibutuhkan industri. Selain itu, pelarangan ekspor juga ditujukan untuk menstimulasi perusahaan tambang saat ini untuk membangun smelter. Dengan kata lain, tujuan utama dari adanya kebijakan ini adalah memaksimalkan penyerapan investasi," terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (26/7/2023).

        Baca Juga: MMS Group Indonesia Tunjuk China ENFI sebagai Kontraktor Proyek Smelter Nikel Mitra Murni Perkasa

        Hasran melanjutkan, pemerintah juga perlu mengevaluasi kembali rencana larangan ekspor komoditas timah, tembaga, dan bauksit. Rencana tersebut tidak akan berhasil seperti halnya pada komoditas nikel karena kapasitas produksi Indonesia relatif kecil.

        Apalagi, tren permintaan pasar pada komoditas-komoditas tersebut tidak akan sama potensialnya dengan nikel yang ditopang oleh geliat pasar kendaraan listrik. Pelarangan ekspor ini juga dijadikan sinyal untuk investor barang turunan nikel seperti baterai kendaraan listrik, bahwa bahan baku yang mereka butuhkan akan selalu tersedia secara melimpah dalam negeri.

        Ini juga berarti bahwa rencana pemerintah untuk memperluas cakupan pelarangan ekspor ke komoditas lain seperti bauksit, tembaga, dan timah menjadi tidak ideal. Larangan ekspor pada komoditas tersebut tentu saja tidak akan semulus komoditas nikel karena kapasitas produksi Indonesia masih terlalu kecil untuk komoditas-komoditas tersebut.

        Walaupun demikian, kebijakan proteksionis seperti pelarangan ekspor tidak akan ideal jika dipertahankan dalam jangka waktu lama. Pembangunan smelter akan membutuhkan investasi yang sangat besar yang bersumber dari investasi asing.

        "Apabila ini terus berlanjut, peningkatan nilai tambah domestik yang dihasilkan dari hilirisasi hanya akan dinikmati oleh para investor asing," terang Hasran.

        Di sisi fiskal dan penerimaannya, Indonesia tidak bisa terus menerus kehilangan pemasukan dari pajak ekspor nikel mentah. Apalagi,Indonesia telah memberikan insentif berupa potongan atau pengampunan pajak bagi investor di industri turunan nikel yang pada akhirnya mengurangi penerimaan pajak penghasilan.

        Dengan menggeliatnya tren kendaraan listrik dalam beberapa tahun ke depan, kebutuhan bahan baku bijih nikel juga akan makin tinggi. Di saat seperti ini, harga nikel mentah dunia akan merangkak naik. Apabila ekspor masih dilarang dalam jangka panjang, produsen tambang dalam negeri akan kehilangan produsen surplus akibat tidak bisa menjual nikel di pasar internasional pada harga yang lebih tinggi.

        Dari sisi tenaga kerja, hilirisasi yang dibarengi dengan larangan ekspor kemungkinan besar dinilai CIPS tidak akan maksimal dalam menyerap tenaga kerja baru. Hal ini hanya mengalihkan tenaga kerja dari sektor yang memiliki nilai tambah rendah seperti pertambangan ke sektor yang bernilai tambah tinggi seperti industri-industri hasil olahan nikel.

        Baca Juga: Kebijakan Hilirisasi Jangan Diikuti Pelarangan Ekspor

        Dalam hal ini, ekspektasi mengurangi pengangguran dengan pelarangan ekspor perlu dipertanyakan. Untuk mendorong hilirisasi yang lebih masif, pemerintah melarang ekspor nikel mentah dan mewajibkan agar bijih nikel tersebut diolah terlebih dahulu sebelum akhirnya diekspor. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan dapat menghasilkan produk turunan nikel yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.

        Hilirisasi nikel membutuhkan pembangunan smelter yang sangat mahal dan membutuhkan investasi yang sangat besar. Hingga 2024 nanti, total investasi yang dibutuhkan untuk membangun 30 smelter nikel baru sebesar US$7,61 miliar.

        Layaknya kebijakan proteksionis lainnya, pelarangan ekspor yang diterapkan oleh Indonesia menuai kecaman global terutama dari negara-negara yang bergantung pada pasokan nikel Indonesia. Saat ini, Uni-Eropa telah menggugat Indonesia melalui forum WTO.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: