Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Harga Gas US$6 Tak Jamin Daya Saing Industri Indonesia Meningkat

        Harga Gas US$6 Tak Jamin Daya Saing Industri Indonesia Meningkat Kredit Foto: Phapros
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, untuk meningkatkan daya saing industri dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, tidak hanya berlaku terhadap satu faktor. 

        Menurutnya, beberapa faktor yang dapat meningkatkan daya saing industri Indonesia ialah seperti perizinan, bahan baku, tenaga kerja terampil, dan mesin yang kompetitif, bukan hanya pada harga gas.

        "Kalau kita bicara daya saing harga gas, ini hanya salah satu faktor sebetulnya karena daya saing dibentuk oleh puluhan faktor," ujar Komaidi dikutip dari YouTube CNBC Indonesia, Selasa (8/8/2023).

        Baca Juga: Sertifikasi Keberlanjutan Kurangi Dampak Buruk Emisi Gas Rumah Kaca

        Komaidi menyebut bahwa pemerintah perlu berpikir ulang dalam menetapkan upaya yang tepat dalam meningkatan daya saing industri agar tidak hanya terfokus dalam konteks harga gas murah. Pasalnya, jika upaya tersebut tidak tepat sasaran, akan mengorbankan iklim investasi minyak dan gas (migas) menjadi kurang kondusif.

        "Itu satu aspek betul bahwa kalau harga gas murah, maka daya saing secara relatif katakanlah akan naik, tetapi perlu dilihat daya pengungkitya," ujarnya.

        Menurutnya, berdasarkan catatan studi Reforminer Institute, upaya meningkatkan daya saing industri dengan menunurunkan harga gas menjadi US$6 per MMBTU belum berdampak signifikan. Hal ini terlihat dari serapan gas yang belum optimal.

        "Yang perlu dilihat, begitu ada beberapa hal catatan dari kami, studi yang kami lakukan selama implementasi harga gas khusus paling tidak selama tiga tahun terakhir, serapannya selalu di bawah dari alokasi," ucapnya.

        Lanjutnya, ia melihat bahwa kebijakan harga gas US$6 per MMBTU merupakan salah satu pengorbanan negara. Dengan adanya kebijakan itu, negara kehilangan PNBP mencapai Rp30 triliun dalam tiga tahun.

        "Sampai sejauh ini besaran yang dikorbankan pemerintah dalam tanda petik karena kemudian pemerintah merelakan untuk bagian penerimaan negara dari PNBP gas berkurang, belum sepadan dengan yang diterima dari tambahan penerimaan dari pajak dari sektor industri penerima harga gas khusus tadi," ungkapnya. 

        Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (ASPERMIGAS) Elan Biantoro melihat, dalam pelaksanaan gas murah untuk industri perlu diatur secara komprehensif agar tidak hanya salah satu pihak yang diuntungkan atau dirugikan, sehingga terjadi pemerataan ekonomi.

        "Itu yang agar diatur oleh pemerintah dan ini memang akan multisektoral pembahasannya dari upstream sampai ke pembeli perlu ada koordinasi yang baik, yang itu semuanya adalah otoritas pemerintah yang harus mengoordinasinya," ujar Elan. 

        Lanjutnya, terkait dengan perluasan sektor industri yang mendapatkan fasilitas harga gas US$6 per MMBTU, harus diwujudkan secarap bertahap, disiapkan masa transisinya agar tidak memunculkan masalah di kemudian hari dan tercipta multiplier effect bagi perekenonomian.

        "Itu pasti ada masa transisi yang kita persiapkan untuk menuju ke arah apa yang diinginkan gitu bahwa harga gas murah itu bahasa murahnya ya kita terjangkau oleh rakyat," ucapnya.

        Baca Juga: Kementerian ESDM Wajibkan Badan Usaha Migas Laporkan Kegiatan Usahanya

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: