Dua mega proyek sektor transportasi massal yang sedang dibangun Indonesia, Light Rapid Transportation (LRT) Jabodebek dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), tak henti-hentinya menjadi sorotan publik. Hal ini terjadi lantaran biaya yang dikeluarkan untuk kedua proyek tersebut dinilai kian hari semakin membengkak.
Anggaran kedua proyek transportasi tersebut dinilai sudah sangat jauh melampaui anggaran yang sebelumnya sudah diproyeksikan. Anggaran pembangunan LRT sendiri mulanya diproyeksikan akan memakan dana sebesar Rp20,752 triliun. Namun, dalam perkembangan terakhir, dikabarkan bahwa anggaran dana tersebut telah membengkak (cost overrun) sampai Rp12,25 triliun, menjadi Rp32,5 triliun.
Sementara itu, anggaran KCJB mulanya diproyeksikan akan menggelontorkan dana sebesar Rp92,8 triliun. Akan tetapi, ternyata anggaran tersebut turut membengkak hingga Rp21 triliun, menjadi sebesar Rp114,24 triliun.
"Jadi ada kenaikan kira-kira 1,9 miliar dollar Amerika Serikat dengan komposisi engineering, procurement and construction dan non EPC, 80 persen banding 20 persen," kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko KAI, Salusra Wijaya, mengutip dari Kontan.id, Sabtu (19/8/2023).
Baca Juga: KCIC Terus Lakukan Persiapan Jelang Uji Coba Pra Operasi Kereta Cepat Jakarta - Bandung
Lantas, sebenarnya apa masalah yang membuat anggaran kedua mega proyek transportasi massal ini terus menerus membengkak?
Bengkaknya Anggaran Proyek LRT
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Didiek Hartantyo turut membuka suaranya perihal biaya proyek LRT yang terus melampaui proyeksi anggaran. Ia menilai, sejak awal desain pembiayaan LRT Jabodebek sudah tidak benar, sehingga menjadi beban untuk PT KAI.
“Karena desain (pembiayaan) sudah nggak bener dari awal. LRT tuh menjadi bagian dari PT KAI, dan ini akan menjadi beban,” ujarnya dikutip dari kanal YouTube Kompas.com, Sabtu (18/8/2023).
Ia lalu mengungkapkan bahwa proyek pembangunan LRT sejatinya dibangun pada tahun 2015. Namun, pada tahun 2017, kontraktor BUMN kesulitan dalam melakukan penagihan dana ke Kementerian Keuangan.
“Di 2017 itu lah Menteri Keuangan menyampaikan bahwa keuangan negara tidak memungkinkan untuk mengeluarkan Rp29,9 triliun untuk membangun ini (LRT), tapi pemerintah akan membayar secara mencicil,” ungkap Didiek.
Untuk diketahui, sejak pertama kali dibangun, proyek LRT yang akan menghubungkan daerah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi ini setidaknya sudah melalui tiga permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebutlah yang nantinya berimbas pada bengkaknya anggaran proyek transportasi massal ini.
Baca Juga: Apakah Mungkin Jembatan Lengkung LRT Diperlebar? Sang Arsitek: Bisa Nabrak Gedung
Pertama, target operasional yang terus mundur dari target commercial operation date atau COD. Awalnya, transportasi massal baru ini ditargetkan akan beroperasi pada Juli 2019 dan kemudian digeser ke Agustus 2022 karena kesulitan pembebasan lahan dan pandemi Covid-19.
Tak sampai disitu, ternyata jadwal operasi LRT Jabodebek diundur hingga setahun kemudian ke Agustus 2023. Mulanya akan dijadwalkan pada tanggal 18 Agustus, satu hari setelah hari Kemerdekaan Indonesia. Namun, mengalami kemunduran lagi, hingga ke tanggal 30 Agustus.
Kedua, Longspan (jembatan lengkung bentang panjang) yang dinilai salah desain. Longspan yang membentang dari kawasan Gatot Subroto hingga Kuningan tersebut dinilai sudutnya terlalu miring dan kurang lebar oleh Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo. Hal tersebut menyebabkan kereta tidak bisa melaju secara optimal saat melintasi longspan tersebut.
Ketiga, spesifikasi kereta LRT yang tak seragam. Sebanyak 31 kereta LRT Jabodebek yang akan dioperasikan mempunyai spesifikasi berbeda. Lantaran mempunyai spesifikasi berbeda antarkereta, kondisi tersebut membuat sistem perangkat lunak (software) harus diperbaiki, sehingga biayanya menjadi lebih tinggi.
Bengkaknya Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung
Proyek kereta cepat yang menghubungkan antara dua kota besar di Indonesia, yakni Jakarta dan Bandung juga nampaknya mengalami cost overrun hingga triliunan rupiah.
Proyek yang merupakan kerjasama antara Indonesia dan China melalui PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dinilai mengalami pembengkakan biaya lantaran terdapat beberapa komponen biaya yang tidak masuk perhitungan awal nilai proyek yang sebesar USD 6,07 miliar atau senilai Rp92,8 triliun tersebut.
Baca Juga: Sudah Habiskan Duit Negara Hingga Triliunan Rupiah, Proyek LRT Malah Salah Desain: Merugikan Rakyat
Misalnya, biaya proyek yang mengalami peningkatan terbesar adalah pada pekerjaan dasar tanah (subgrade) dan terowongan sepanjang 4,6 kilometer. Selain itu, ada perbedaan dalam perkiraan biaya yang timbul dengan pihak China terkait dengan investasi dalam persinyalan GSM-R pada frekuensi 900 megahertz (MHz). Oleh karena itu, sekitar Rp1,3 triliun akan dialokasikan untuk membersihkan menara BTS di sepanjang jalur kereta yang bekerja sama dengan Telkomsel.
"China itu memang tidak memasukkan biaya-biaya dari pihak ketiga seperti dari sinyal GSM-R, capex konstruksi PLN, termasuk pajak atas sewa tanah. Jadi ada biaya-biaya yang tidak masuk pada nilai awal proyek yang sekarang kami sepakati harus masuk biaya proyek," jelas Tiko kepada Komisi VI DPR, Selasa (1/11/2022).
Kemudian, terdapat juga sejumlah biaya proyek yang belum masuk ke perhitungan awal nilai proyek, seperti integrasi dengan Stasiun Halim LRT Jabodebek, relokasi dari Stasiun Walini ke Padalarang, pengadaan lahan, hingga eskalasi terkait dengan inflasi dan kenaikan UMR.
Proyek kereta cepat ini juga telah melalui banyak rintangan dalam proses pembangunannya. Mulai dari kecelakaan kerja yang menimpa dua pekerja kontraktor asal China, pencurian baut dan kabel tembaga, perencanaan yang kurang baik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Annisa Nurfitri