Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pulau Rempang Series: Jejak Permukiman Liar Jelang Pembangunan Eco City

        Pulau Rempang Series: Jejak Permukiman Liar Jelang Pembangunan Eco City Kredit Foto: Antara/Teguh Prihatna/foc.
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Rencana pemerintah melakukan pengembangan Pulau Rempang menjadi Rempang Eco City masih menemui sejumlah hambatan. Salah satu hambatan tersebut ialah masyarakat menolak untuk direlokasi dari Pulau Rempang meski telah dilakukan sejumlah dialog dan pertemuan antara perwakilan masyarakat dan pemerintah.

        Pembangunan Rempang Eco City juga dihadapkan pada masalah permukiman liar. Bagaimanapun, adanya permukiman liar di tengah masyarakat asli Pulau Rempang menjadi fakta yang tidak dapat dikesampingkan sebagai salah satu faktor munculnya masalah sengketa tanah di wilayah tersebut.

        Lantas, bagaimana sebenarnya gambaran kependudukan di Pulau Rempang serta kaitannya dengan rencana pembangunan kawasan dan investasi Rempang Eco City yang dicanangkan pemerintah Indonesia? Dapatkan jawabannya dalam informasi berikut ini.

        Baca Juga: Bentrok di Pulau Rempang Batam, KemenPPPA Himbau Penyelesaian Tidak Bahayakan Anak-anak

        Mengenal Penduduk Asli Pulau Rempang

        Pulau Rempang ditempati oleh masyarakat dari beberapa suku, seperti suku Melayu, suku Tionghoa, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat. Dari semua suku tersebut, suku Orang Darat diyakini sebagai penduduk asli Pulau Rempang. Menurut catatan sumber sejarah, suku Orang Darat atau dikenal juga sebagai Orang Oetan (Orang Hutan) sudah mendiami Pulau Rempang sejak abad ke-19 silam.

        Melansir laman resmi Kemendikbud, seorang pejabat Belanda bernama P. Wink melakukan kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada tahun 1930. Dalam catatan kunjungan tersebut, dituliskan bahwa Orang Darat merupakan suku asli yang hidup tanpa dinding dan hanya beratap di hutan-hutan Pulau Rempang. Catatan tersebut ditayangkan dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, tertanggal 4 Februari 1930.

        Pada kunjungan tahun 1930 itu, catatan sejarah menunjukkan data Orang Darat hanya sekitar 36 jiwa dengan rincian 8 laki-laki, 12 wanita, dan 16 anak-anak. Populasi Orang Darat makin menurun dan hanya tersisa 8 keluarga pada tahun 2014.

        Menurut legenda, karakteristik Orang Darat digambarkan sebagai masyarakat yang berasal dari Lingga dan mereka dikatakan mirip dengan suku asli Johor dan Melaka, yakni Orang Jakun. Orang Darat juga digambarkan sebagai masyarakat dengan kulit yang lebih gelap dari orang Melayu.

        Jejak Permukiman Liar di Pulau Rempang

        Permukiman liar menjadi permasalahan yang umum ditemukan di perkotaan, tak terkecuali di Batam. Jejak permukiman liar di Batam yang berujung penertiban sudah beberapa kali terjadi. Terbaru, aparat melakukan penertiban permukiman liar di kawasan Tangki Seribu, Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau pada awal Juli 2023 lalu.

        Permukiman liar merupakan kondisi di mana masyarakat menempati suatu lahan secara ilegal. Mengingat lahan yang ditempati tak berizin, masalah permukiman liar tak jarang berujung pada penertiban, jual beli lahan ilegal, hingga sengketa lahan akibat saling klaim kepemilikan.

        Kondisi demikian juga tergambarkan di wilayah Pulau Rempang-Galang. Melansir dari berbagai sumber, Wali Kota Batam era tahun 2012, Ahmad Dahlan, menegaskan bahwa sehubungan dengan pembangunan infrastruktur yang menggabungkan Batam, Rempang, dan Galang (Barelang), jual beli lahan di Pulau Rempang-Galang adalah ilegal. Hal itu mengingat bahwa pemerintah pusat belum menentukan pemegang kelola dua pulau yang disatukan dengan Batam itu. 

        "Jual beli (tanah) di Rempang-Galang ilegal. Jual beli melalui camat juga batal demi hukum," tegasnya tahun 2012 silam.

        Menurut informasi yang dihimpun redaksi dari berbagai sumber, masalah penempatan lahan menjadi permukiman liar di Rempang-Galang sudah terjadi dari tahun ke tahun sejak 2010 lalu. Hal itu sejalan dengan kebijakan tahun 2002 yang menghapuskan syarat administrasi berupa KTP keluarga penjamin bagi orang yang merantau ke Batam. 

        Akibatnya, terjadi pertambahan jumlah penduduk yang begitu cepat di wilayah Batam-Rempang-Galang. Masalah permukiman liar terus terjadi tatkala masyarakat hanya bergeser dari satu wilayah yang dilakukan penertiban ke wilayah lain dan membangun permukiman baru.

        Pemerintah Daerah Batam sejatinya telah melakukan beberapa kali upaya penertiban permukiman ilegal. Misalnya saja pada Februari 2023, Balai Desa KSDA Riau menggelar operasi gabungan penertiban dan pengawasan terhadap penggunaan kawasan hutan secara tidak sah di kawasan konservasi Taman Buru (TB) Pulau Rempang. Operasi gabungan tersebut ditujukan untuk mendorong para pelaku penguasaan dan penggunaan kawasan konservasi TB Pulau Rempang secara tidak sah supaya mengikuti prosedur sesuai perundang-undangan.

        Pelaksanaan operasi dilakukan dengan mengedepankan dialog, penjelasan ke masing masing pemilik atau perwakilan pekerja bahwa tempat usahanya berdiri di dalam kawasan TB Pulau Rempang. Selanjutnya Tim memberikan surat pemanggilan untuk klarifikasi dan pemasangan papan peringatan di lokasi usaha.

        Jejak Kriminal dan Bisnis Gelap di Rempang dan Batam

        Tak bisa ditampik bahwa jumlah penduduk Rempang kian bertambah karena dipengaruhi oleh arus pendatang dari luar kawasan Batam. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Batam pernah menyampaikan bahwa jumlah pendatang baru ke Batam usai lebaran 2023 diperkirakan menembus 23.000 orang.

        Jumlah tersebut hampir menyamai jumlah pendatang baru pada periode Juni-Desember 2022 lalu yang tercatat sebanyak 27.000 orang. Mayoritas pendatang tersebut berasal dari luar Batam dengan tujuan mencari pekerjaan. Namun, mereka yang datang tanpa memiliki keahlian untuk bekerja di industri pun memicu berbagai permasalahan, mulai dari pengangguran, tindak kriminal, hingga bisnis gelap di wilayah Batam.

        "Ada kemungkinan (jumlahnya) meningkat karena anak yang baru tamat (sekolah) juga banyak," tegas Sekretaris Disdukcapil Batam, Ashraf Ali, dilansir dari Go Kepri beberapa waktu lalu.

        Salah satu tindak kriminal yang menjadi sorotan ialah tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Wamendagri, Afriansyah Noor, bahkan menyebut bahwa Batam menjadi jalur gemuk untuk mafia TPPO. Hal itu mengingat bahwa Batam memiliki banyak migran yang kerap berpindah tempat dari satu kawasan ke kawasan lain.

        "Beberapa pemberangkatan jalur pemberangkatan yang memang memberangkatkan secara nonprosedural, kemudian di situ juga ada agen-agen, sindikat-sindikat yang bermain," tegasnya seperti dilansir dari CNN.

        Awal tahun 2023 lalu, publik dihebohkan dengan aksi penebangan ribuan pohon mangrove secara ilegal. Ribuan mangrove tersebut sebelumnya ditanam oleh Presiden Jokowi, namun kemudian dibabat secara ilegal oleh pembuat arang yang ada di jembatan lima Pulau Rempang, Batam.

        Bisnis gelap dengan praktik penebangan mangrove secara ilegal ini kerap ditemui di Rempang dan dinilai membahayakan ekosistem alam. Kasus-kasus di atas merupakan sedikit dari banyaknya kasus yang berkaitan dengan kependudukan pendatang di wilayah Rempang, Batam.

        Ganti Untung Relokasi Warga Pulau Rempang

        Dialog mengenai rencana relokasi masyarakat Pulau Rempang masih terus dilakukan. Kendati demikian, Badan Pengusahaan (BP) Batam memastikan bahwa pihaknya akan tetap melanjutkan relokasi warga Pulau Rempang dalam waktu dekat ini. 

        Berkenaan dengan relokasi tersebut, BP Batam bersama PT Makmur Elok Graha (MEG) telah menyiapkan sejumlah ganti untung kepada masyarakat. Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, menyampaikan bahwa sesuai arahan Menteri Investasi, pihaknya akan menyiapkan kavling seluas 500 meter untuk warga yang memiliki rumah di atas di atas Areal Penggunaan Lain (APL) dan bersedia direlokasi ke areal yang telah ditetapkan.

        "Di kavling tersebut akan dibangun rumah tipe 45. Pemerintah juga akan menyiapkan fasilitas umum, fasilitas sosial, pendidikan, serta prasarana lainnya untuk mempermudah aktivitas masyarakat," tegasnya dalam dialog pengembangan Pulau Rempang pada 6 September 2023 lalu.

        Ada sejumlah kriteria warga yang mendapat lahan pengganti imbas dari relokasi, yakni warga kampung yang berada di Kelurahan Sembulang atau Kelurahan Rempang Cate, lalu memiliki KTP dan KK Kelurahan Sembulang atau Rempang Cate, dan telah bermukim minimal 10 tahun di 2 kelurahan tersebut, yang dibuktikan melalui Surat Keterangan ketua RT, RW, lurah, dan camat setempat.

        Pada saat yang sama, MEG akan memberikan pendidikan dan pelatihan khusus kepada masyarakat Pulau Rempang yang direlokasi. Kedua hal tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat nantinya. BP Batam menegaskan bahwa relokasi masyarakat akan dilakukan dengan penuh persiapan.

        Provokasi Atas Rencana Pengembangan Rempang Eco City

        Penyerangan oknum massa ke aparat terjadi antara warga dan aparat saat pengukuran lahan untuk pengembangan kawasan Pulau Rempang oleh BP Batam. Merespons hal tersebut, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, menjelaskan bahwa penyerangan oknum massa ke aparat terjadi tatkala masyarakat yang mengatasnamakan warga Rempang terlebih dulu melakukan provokasi dengan melemparkan batu dan botol kaca ke arah personel keamanan yang akan memasuki wilayah Jembatan 4 Barelang. 

        Dalam tayangan video yang beredar di media sosial, terlihat massa demonstran melakukan aksi brutal dalam menyerang aparat. Oknum massa tersebut menyerang aparat dengan senjata, seperti batu, molotov, dan benda-benda berbahaya lainnya.

        Serangan tak hanya ditujukan kepada aparat, tetapi juga kepada fasilitas publik. Alhasil, provokasi tersebut membuat aksi yang sebelumnya berjalan damai berubah menjadi kerusuhan dengan merusak pagar dan kaca-kaca gedung di lokasi unjuk rasa. Akibat kejadian tersebut, aparat mengamankan sejumlah orang yang dinilai menjadi provokator masyarakat.

        "Informasi dari tim di lapangan, sudah ada beberapa oknum provokator yang ditangkap pihak kepolisian. Beberapa di antaranya bahkan didapati membawa parang dan sudah berhasil diamankan," tegasnya.

        Ariastuty pun mengajak masyarakat Kota Batam untuk mengecek terlebih dulu informasi yang diterima sebelum menyebarkannya melalui media sosial. Bukan tanpa alasan, lanjut Ariastuty, pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana pengukuran tersebut.

        "Jangan terprovokasi dan tetap jaga situasi kondusif demi Batam lebih baik," tambah Ariastuty.

        Baca Juga: Pulau Rempang Series: Kisah Masa Lalu, Keindahan Alam, hingga Potensi Ekonomi

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: