Konflik Agraria Rempang Tak Kunjung Usai, Satgas PKH Gagal Jalankan Perpres Prabowo?
Kredit Foto: Antara/Teguh Prihatna/foc.
Harapan masyarakat adat Pulau Rempang dan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, terhadap keadilan agraria kembali terganjal. Meski Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sebagai strategi cerdas menata konflik kehutanan nasional, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Di kawasan hutan Taman Buru Rempang, pelanggaran terus dibiarkan tanpa tindakan tegas.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyebut bahwa Pulau Rempang telah lama menjadi titik panas konflik agraria antara masyarakat adat dan penguasa formal negara. Sejak 2008, Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang Galang (Himad Purelang) memperjuangkan hak legal atas tanah garapan turun-temurun mereka, namun selalu berbenturan dengan birokrasi dan ketidaktegasan negara.
“Mereka sudah menyampaikan lebih dari 480 surat permohonan pendaftaran tanah. Tapi negara justru bersikap pasif dan membiarkan kawasan yang disengketakan dijarah oknum dan korporasi," kata Iskandar, Selasa (3/5/2025)
Himad Purelang mendasarkan perjuangannya pada Pasal 19 jo. UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA dan Permen Agraria No. 9 Tahun 1999, yang mengatur hak masyarakat untuk mendaftarkan tanah garapan. Mereka bahkan telah menyusun dua rekapitulasi administrasi dan membuat puluhan akta tanah di hadapan PPAT sejak 2013, sebagai bentuk penguatan legalitas.
Namun, upaya itu ditolak Badan Pertanahan Nasional (BPN) lewat surat No. 3321/25.1-600/XI/2010 dengan alasan wilayah tersebut berada di dalam kawasan Taman Buru, mengacu pada SK Menteri Kehutanan No. 307/KPTS-II/1986. Penolakan itu dinilai cacat, sebab tidak disertai validasi menyeluruh di lapangan dan mengabaikan luas kawasan garapan yang hanya sekitar 16.000 ha dari total 51.108,42 ha yang tercantum dalam peta BIG.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun tak memberikan kejelasan hukum. Dalam surat No. 3.238/REN-2/2014, disebutkan bahwa Pulau Rempang terdiri atas hutan lindung, hutan bakau, dan hutan produksi konversi, serta ditetapkan sebagai Taman Buru. Namun, perubahan fungsi kawasan itu dilakukan tanpa persetujuan DPR RI, sehingga bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Baca Juga: Sudah Capai 74%, Pupuk Kaltim Targetkan 100.000 Hektare Lahan Tergabung dalam Program MAKMUR 2025
Lebih ironis lagi, penunjukan Rempang sebagai Kawasan Perdagangan dan Industri hanya melalui peraturan pemerintah dan bukan revisi undang-undang, sehingga tidak sah menghapus status kehutanan. Ini melanggar prinsip negara hukum dan merusak ekosistem yang dilindungi.
“Hutan Taman Buru adalah kawasan konservasi, tapi kini sudah berubah jadi lahan industri tanpa AMDAL dan tanpa persetujuan DPR. Ini pelanggaran hukum yang dibiarkan oleh negara,” tegas Iskandar.
Menurut IAW, Satgas PKH seharusnya menjadikan Rempang sebagai uji coba utama (test case) implementasi Perpres 5/2025. Namun kenyataannya, kawasan hutan yang sudah rusak dan dijarah itu tidak tersentuh penertiban.
“Jika Satgas PKH tidak mampu bertindak nyata terhadap pelanggaran terang benderang ini, maka strategi Presiden Prabowo hanya akan menjadi dokumen formal belaka,” kata Iskandar.
Iskandar menambahkan, konflik Rempang sudah beberapa kali dibahas dalam RDP Komisi II DPR RI bersama BPN RI, bahkan mendapat simpati dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun hingga kini, tak ada satu pun kebijakan konkret yang menjamin perlindungan hak masyarakat adat. Negara dinilai lalai.
Oleh karena itu, IAW merekomendasikan beberapa hal diantaranya; Evaluasi SK Menteri Kehutanan tahun 1986 oleh Kementerian LHK bersama DPR RI, Validasi lapangan oleh BPN dan peninjauan ulang surat penolakan Himad Purelang, Penyusunan Perpres khusus untuk penyelesaian tanah adat di Kawasan Strategis Nasional, Audit BPK RI terhadap anggaran Tim 13 BPN dan efektivitas Satgas PKH, Pemberdayaan hukum bagi masyarakat adat melalui bantuan hukum dan pendampingan sertifikasi tanah dan Penertiban alih fungsi Taman Buru Rempang oleh Satgas PKH serta penegakan hukum terhadap pelanggaran.
“Tanah untuk rakyat, bukan untuk otorita tanpa akuntabilitas,” tegas Iskandar.
Baginya, kasus Himad Purelang adalah potret telanjang ketimpangan struktural dalam pengelolaan agraria nasional. Jika negara terus abai, maka bukan hanya rakyat yang ditelantarkan, tapi juga legitimasi hukum agraria yang dihancurkan dari dalam.
“Presiden Prabowo punya peluang strategis untuk menorehkan solusi permanen. Tapi jika Satgas PKH tidak segera bertindak, maka pembiaran ini akan tercatat sebagai kegagalan struktural terhadap visi keadilan agraria Presiden,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement