Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        PKS Wanti-wanti Gibran: Ini Jelas Menjurus ke Nepotisme...

        PKS Wanti-wanti Gibran: Ini Jelas Menjurus ke Nepotisme... Kredit Foto: MPR
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian uji materi batasan usia calon wakil presiden (cawapres), sehingga membolehkan pihak yang berumur di bawah 40 tahun tapi pernah/sedang menjadi kepala daerah bisa maju/dicalonkan sebagai Calon Wakil Presiden.

        Putusan itu, kata Hidayat, menunjukkan inkonsistensi MK, sehingga dikhawatirkan dapat menjatuhkan marwah dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tertinggi tersebut.

        Baca Juga: Tanggapan Prabowo soal Gibran Jadi Cawapres: 'Ojo Kesusu!'

        “Putusan ini jelas tidak konsisten dengan putusan-putusan MK sebelumnya yang menyatakan berkaitan dengan syarat usia pejabat publik bahwa itu bukan kewenangan MK, melainkan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dari pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Pemerintah. Ini jelas sangat disesalkan dan disayangkan,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa(17/10).

        HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa sekalipun 4 hakim MK menyampaikan dissenting opinion, tapi 5 hakim membuat putusan mengabulkan yang tidak sesuai dengan prinsip kenegarawanan yang menjadi syarat sebagai Hakim Konstitusi.

        “Dan Rakyat, pemilik Kedaulatan memilih capres dan cawapres, tentu harus memperhatikan dan menyimak putusan tidak konsisten yang dinilai banyak pihak sebagai akan menguntungkan salah satu kepala daerah yang masuk dalam bursa cawapres padahal umurnya belum mencapai 40 tahun, tapi yang bersangkutan adalah anak Presiden Joko Widodo ini,” pungkasnya.

        Sehingga, imbuhnya, memunculkan ungkapan yang me-melesetkan bahwa MK bukan lagi Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Keluarga, hal yang semakin menjatuhkan marwah lembaga peradilan tersebut.

        “Putusan ini berpotensi menabrak prinsip penting hadirnya salah satu tuntutan reformasi yaitu menolak KKN. Yang ditolak bukan hanya Korupsi, dan Kolusi tapi juga ‘nepotisme’,” tuturnya.

        Baca Juga: Amien Rais: Markobar Enggak Begitu Laku, Gibran Anak Ingusan

        Oleh karena itu, HNW menyarankan agar siapa pun kepala daerah – termasuk Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi – yang dinilai memenuhi kriteria dalam putusan MK untuk maju menjadi cawapres, agar yang bersangkutan perlu menghadirkan sikap kenegarawanan untuk tidak mengambil kesempatan menjadi cawapres itu.

        “Sebab selain tidak ada kewajiban mengambilnya, hal itu jelas menjurus kepada nepotisme yang ditolak oleh tuntutan Reformasi. Demikian juga ayahnya, yaitu Presiden Jokowi, agar menghadirkan kenegarawanan dengan tidak mengizinkan Walikota Solo yang adalah anaknya itu untuk maju sebagai cawapres, sekalipun MK membolehkannya,” jelasnya.

        Semata-mata demi kebaikan eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi berbasis hukum, bukan negara kekuasaan, dan untuk menepis soal nepotisme, agar meninggalkan legacy kenegarawanan yang akan mengharumkan nama beliau dan anaknya dan menyelamatkan Indonesia sebagai negara hukum juga.

        Baca Juga: Kornas Nilai Tak Ada Benang Merah Soal Jalan Politik Gibran dan Putusan MK

        “Karena Pasal 171 ayat (1) dan ayat (4) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan kepala daerah yang akan maju capres atau cawapres harus meminta izin Presiden. Maka bila Presiden Jokowi memberikan izin, publik akan mendapat konfirmasi bahwa dugaan adanya cawe-cawe Presiden Jokowi dalam pemilu/pilpres, sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, memang semakin terbukti, benar adanya,” ujarnya.

        HNW menjelaskan Rakyat yang oleh Konstitusi disebut sebagai pemilik kedaulatan untuk memilih Capres/cawapres, harusnya terus memperhatikan dan menyimak bagaimana ‘kesempatan’ itu diberikan dengan cara-cara yang aneh dan membingungkan.

        “Ini bisa dibaca di dalam dissenting opinion (pendapat berbeda), dimana Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam putusan itu menyatakan secara terbuka rasa bingung dengan perubahan sikap mayoritas hakim MK. Kalau Wakil Ketua MK saja bisa bingung dengan putusan tersebut, apalagi dengan Rakyat,” ujarnya.

        Sebagai informasi, putusan ini tidak dibuat secara bulat oleh para hakim MK. Dari sembilan hakim MK, lima hakim setuju mengabulkan permohonan, dan empat hakim (termasuk Wakil Ketua MK Saldi Isra) menolak permohonan karena berpandangan MK seharusnya konsisten pada putusannya terdahulu. Meski begitu, HNW mengatakan rakyat yang memperhatikan dan menyimak inkonsistensi yang membingungkan itu yang nanti akan menjadi ‘hakim’ dalam pemilu/pilpres mendatang.

        “Rakyat saat ini sudah semakin kritis dengan segala fenomena dan akrobat yang terjadi menjelang pemilu/pilpres ini. Maka sekalipun ada putusan MK ini bukan berarti Rakyat tidak boleh memilih capres/cawapres di luar dari yang diuntungkan akibat dari putusan tersebut, atau harus memilih capres dengan cawapres yang sesuai dengan keputusan MK itu, sekalipun tidak sesuai dengan tuntutan reformasi dan konsistensi putusan MK,” jelasnya.

        Baca Juga: MK Memutuskan, KORNAS Yakin Gibran Tak Akan Maju di Pilpres 2024

        “Pada akhirnya Rakyat yang akan menjadi hakim dan menentukan masa depan Indonesia di bilik suara. Sekalipun Ayah dan Anaknya ‘ngotot’ memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh 5 hakim MK tersebut. Dan sekalipun demikian, Rakyat mestinya juga tetap mempergunakan kedaulatannya dengan memperhatikan, mengawal dan mengawasi penyelenggaraan pemilu/pilpres agar tetap dilaksanakan secara jujur dan adil sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Agar hasil Pemilu termasuk Pilpres benar-benar lebih berkualitas dan mempunyai legitimasi,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: