Belakangan ini, TikTok Shop ramai diperbincangkan di jagat maya setelah menuai pro dan kontra. Di balik situasi tersebut, ternyata fenomena serupa juga sedang mengguncang dunia korporasi besar, terlepas dari ukuran usaha, tantangan yang dihadapi oleh teknologi maupun model bisnis baru yang menjadi sorotan utama. Adapun fenomena tersebut dikenal dengan istilah "ludisme".
CEO dan Co-founder CIAS, Dr. Indrawan Nugroho, menyampaikan bahwa perlu memahami cara untuk memilih solusi yang paling sesuai dengan kerumitan fenomena tersebut. “Korporasi perlu menghindari jebakan yang sama dengan memahami fenomena ludisme,” kata Indrawan melalui kanal YouTubenya, Selasa (31/10).
Lebih lanjut, Indrawan mengingatkan awal mula penutupan TikTok Shop dan tiga fenomena yang muncul di balik larangan TikTok Shop.
Berawal dari peristiwa di Pasar Tanah Abang, Jakarta, saat itu Menteri Koperasi dan UMKM melakukan kunjungan.
Dalam kunjungannya, Menteri melihat sejumlah poster yang dipasang oleh para pedagang, dengan pesan memohon agar TikTok ditutup atau online shop dihapus. Beberapa poster bahkan menuliskan dengan tegas, "Tolong hapuskan TikTok Shop, Lazada, Shopee."
“Permintaan ini pada dasarnya merupakan harapan untuk mengembalikan gemerlap Pasar Tanah Abang seperti dulu. Para pedagang berharap agar pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mengatasi penurunan omset dagangan mereka akibat persaingan dari toko online,” ucap Indrawan.
Pemerintah pun menanggapi dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 tahun 2023 yang mengatur perizinan, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.
Revisi tersebut mencipatakan larangan terhadap social commerce, yakni praktik yang menggabungkan e-commerce dan media sosial dalam satu platform.
Kemudian pada akhirnya TikTok Shop, dan TikTok mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi memfasilitasi transaksi e-commerce di dalam TikTok Shop Indonesia.
Sementara terkait tiga isu utama yang disebutkan oleh Indrawan sebelumnya, antara lain:
1. TikTok Shop dianggap menciptakan ketidakadilan dalam perdagangan, dengan algoritmenya disinyalir memihak pada kelompok tertentu.
2. Pemerintah menghindari praktik social e-commerce, yang menggabungkam aplikasi media sosial dan e-commerce dalam satu platform.
3. Live shopping di TikTok Shop juga dianggap merugikan penjualan pedagang offline, terutama di Pasar Tanah Abang.
Indrawan mengatakan isu algoritme disinyalir tidak adil dalam TikTok Shop. Banyak yang menduga bahwa algoritme TikTok Shop diciptakan untuk memberikan keuntungan bagi kelompok tertentu saja. Bahkan, ada isu bahwa TikTok menjalankan "Project S" untuk menganalisis data produk yang populer di platform mereka.
Baca Juga: Bagaimana AI Mengoptimalisasi Marketing untuk Bisnis Anda?
Data tersebut kemudian digunakan oleh produsen di Tiongkok untuk menciptakan produk serupa dengan harga yang sangat kompetitif, lalu produk-produk ini dijual di negara-negara target melalui TikTok Shop.
“Dampaknya adalah banjirnya produk impor dari Tiongkok di TikTok Shop, yang membuat pelaku UMKM kesulitan bersaing. Menurut Institute for Development of Economic and Finance (Indef), setidaknya 74% produk yang dijual di TikTok Shop adalah produk impor. Situasi ini tidak hanya berdampak pada pelaku UMKM, tetapi juga pada ekonomi nasional secara keseluruhan,” punkas Indrawan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Naeli Zakiyah Nazah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: