Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Isu TikTok Cs Belum Selesai, China Masih Berpotensi Caplok Pasar Lokal

        Isu TikTok Cs Belum Selesai, China Masih Berpotensi Caplok Pasar Lokal Kredit Foto: Forum Sinologi Indonesia
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Tb. Fiki C. Satari mengungkapkan empat tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam pengembangan ekonomi digital, di tengah proyeksi pertumbuhan mencapai Rp3,21 triliun pada 2027.

        Fiki mengungkapkan, tantangan pertama adalah 90 persen produk yang dijual melalui perdagangan elektronik (e-commerce) merupakan barang impor, reseller cenderung impor produk ilegal, dan praktik predatory pricing.

        Baca Juga: Vina Muliana Sukses Hadirkan Konten Edukatif di TikTok

        “Disebabkan lapangan bermain tak setara karena produk ilegal tidak bayar pajak, tidak penuhi persyaratan izin dan sertifikasi dan sebab-sebab lainnya,” kata Fiki dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia (FSI) berjudul “Ada Apa dengan TikTok? Ekspansi E-Commerce Tiongkok dan Respons Indonesia,” di Jakarta, Kamis (16/11/2023).

        Ia melanjutkan, tantangan keempat adalah adanya praktik monopoli data oleh platform asing. Semua tantangan tersebut menyebabkan matinya lini bisnis yang dijalankan oleh para usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

        “Akan mematikan UMKM yang bergerak pada bidang produksi dan yang berdagang di pasar luar jaringan (luring), anjloknya serapan tenaga kerja, dan kekalahan platform perdagangan daring lokal dalam bersaing,” jelasnya.

        Ia juga menerangkan bahwa kondisi e-commerce di Indonesia saat ini adalah adanya penguasaan hulu dan hilir oleh platform asal China, salah satunya TikTok, yang semakin menguasai dan mendominasi pasar, yang mengakibatkan makin tergerusnya platform lokal.

        Selain melalui TikTok, Fiki  mengatakan bahwa produk-produk asal China itu masuk melalui berbagai platform asal China lain, seperti Temu.

        “Model bisnis platform tersebut adalah menekan harga semurah mungkin dengan strategi mengambil produk dari pabrik di China langsung dan menjual kembali dengan tingkat kuantitas tinggi lewat metode pembelian berkelompok (group-buying),” tukas Fiki. 

        Menurutnya, model bisnis seperti ini berpotensi membanjiri Indonesia dengan produk murah dari China dan sebagai akibatnya mendisrupsi rantai distribusi pedagang lokal.

        Sementara itu, Ketua FSI Johanes Herlijanto mengatakan, masyarakat memang merasakan keresahan terhadap praktik perdagangan melalui media sosial TikTok. 

        Pertama, kata Johanes, keresahan terkait dengan kekhawatiran terhadap maraknya produk-produk impor yang membanjiri pasar Indonesia melalui aplikasi jual-beli daring, salah satunya TikTok Shop.

        “Keresahan kedua terkait erat dengan kecurigaan adanya praktik predatory pricing, yaitu penerapan diskon yang tak masuk akal bagi barang-barang yang dicurigai merupakan produk impor. Hal berikutnya yang menjadi sumber keresahan dalam masyarakat adalah kekhawatiran TikTok meluncurkan Project S di Indonesia,” terang Ketua FSI itu.

        Sebagai informasi, istilah Project S ini mengacu pada upaya TikTok untuk mengumpulkan data mengenai jenis produk yang paling dicari di sebuah masyarakat, misalnya di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, TikTok lalu menyiapkan produk dari rekanan mereka di China, atau bahkan hasil produksi TikTok sendiri, untuk dipasarkan di dalam masyarakat yang datanya telah mereka koleksi itu.

        Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) itu menambahkan, harga yang TikTok tawarkan akan jauh lebih murah dibanding yang beredar dalam masyarakat tersebut sehingga secara logis masyarakat akan memilih untuk membeli produk-produk itu.

        “Bila pembanjiran barang impor di atas, apalagi dibarengi dengan pelaksanaan Project S di atas di Indonesia dibiarkan terjadi maka UMKM di Indonesia, atau bahkan industri lokal yang lebih besar sekali pun, akan terkena dampak negatif,” imbuhnya.

        Oleh karenanya, menurut Johanes, meski TikTok telah membantah bahwa perusahaan ini melakukan hal-hal yang dituduhkan di atas, bantahan tersebut belum berhasil menyurutkan keresahan-keresahan yang berkembang dalam masyarakat. 

        Baca Juga: Pandawara Sukses Manfaatkan TikTok untuk Berikan Dampak Positif

        Apalagi, tambah dia, terdapat beberapa keresahan pula dalam masyarakat Indonesia mengenai praktik shadow banning yang dicurigai telah dilakukan TikTok kepada beberapa pemilik UMKM sehingga produk mereka tidak muncul dalam pencarian, dan digantikan dengan produk-produk yang dipasarkan oleh TikTok sendiri.

        Dalam keterangannya, Johanes juga merujuk pada kekhawatiran di luar hal-hal yang terkait erat dengan dunia bisnis. Menurutnya, beberapa pemerhati juga mengkhawatirkan hal-hal lain yang juga berpotensi membawa risiko bagi Indonesia, seperti penguasaan big data yang terkait data demografi di Indonesia, yang tentu berada di tangan pengelola aplikasi tersebut.

        TikTok dan Softpower China

        Baca Juga: Spanduk dukung Tasya Revina di Medan, Dewan Perwakilan Netizen Tiktok Nyaleg?

        Sementara itu, sebagai pemerhati China, Johanes mengkhawatirkan kemungkinan TikTok dipergunakan untuk menyebarluaskan cerita-cerita yang sejalan dengan yang diinginkan pemerintah China untuk disampaikan kepada masyarakat di luar China, termasuk Indonesia. 

        “Tanda-tanda seperti itu telah terlihat dari berbagai video yang sering kali melakukan glorifikasi terhadap RRC dan perkembangan di negeri itu yang disebarluaskan melalui aplikasi media sosial TikTok, meski tentu saja video-video semacam itu tidak hanya beredar di TikTok, tetapi juga marak pada berbagai platform media sosial lain yang memungkinkan penggunanya berbagi konten video,” tukas Johanes.

        Oleh karena itu, ia menyampaikan apresiasinya bila pemerintah tidak hanya memandang kasus TikTok sebatas masalah perizinan, seperti yang belakangan ini didengungkan. Menurutnya, masalah perizinan tentu akan dengan mudah diselesaikan dengan permohonan izin sesegera mungkin. 

        “Namun sebelum memberikan izin, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan kepentingan UMKM dalam bidang bisnis, yang kemungkinan akan terganggu dengan beroperasi kembalinya kegiatan jual beli melalui aplikasi TikTok, bila mereka telah menyelesaikan perizinan,” tuturnya. 

        Selain itu, menurutnya, pemerintah juga menghadapi tantangan untuk memperoleh solusi yang tuntas terhadap keresahan-keresahan terkait isu predatory pricing, Project S, dan shadow banning yang berkeliaran di dunia maya, serta memikirkan bagaimana mencegah agar data-data terkait masyarakat Indonesia tidak jatuh ke tangan pihak asing. 

        “Dan akhirnya, pemerintah dan masyarakat sipil terkait perlu memberikan edukasi kepada masyarakat, agar mereka mengetahui dan menyadari bahwa video-video yang beredar di aplikasi media sosial TikTok pun sebenarnya sangat mungkin mengandung ideologi yang diunggah oleh pihak China, yang ditujukan untuk membuat masyarakat Indonesia mengglorifikasi perkembangan yang terjadi di negara itu,” pungkasnya.

        TikTok Shop Hadirkan Peluang dan Ancaman

        Di sisi lain, Pakar Komunikasi dari Universitas Pancasila Diana Anggraeni menilai bahwa kehadiran TikTok Shop sebenarnya menghadirkan peluang dan ancaman sekaligus.

        Pada satu sisi, TikTok Shop menghasilkan peningkatan visibilitas dan pemasaran pelaku usaha, memungkinkan terciptanya kolaborasi antara platform dan kreator konten, membuka kemungkinan bagi diversifikasi saluran penjualan, meningkatkan kemungkinan bagi pemanfaatan fitur-fitur kreatif, meningkatkan kesadaran merek, dan membuka peluang untuk inovasi dan kreativitas.

        Namun Diana juga mengakui adanya permasalahan yang perlu disoroti dalam kaitan dengan praktik jual beli melalui TikTok Shop. Salah satunya adalah terkait belum adanya aturan pemerintah mengenai perdagangan menggunakan platform media sosial.

        “Peraturan Menteri Perdagangan No. 50 Tahun 2020 hanya mengatur perdagangan online secara umum, belum mengatur perdagangan dengan platform media sosial,” tutur Diana. 

        Selain itu, Diana juga menyayangkan dominasi produk impor dalam perdagangan melalui platform media sosial di atas.

        “90-95 persen produk yang dijual adalah produk impor,” papar Diana. 

        Senada dengan Johanes, Diana juga merujuk pada keresahan masyarakat terhadap kecurigaan adanya predatory pricing yang dilakukan oleh platform TikTok. Menurutnya, hal ini, bila benar terjadi, akan memunculkan persaingan yang tidak kompetitif. 

        Baca Juga: TikTok hingga OnlyFans, Koalisi Digital Mulai Perangi Konten Pelecehan Anak Buatan AI!

        Selain isu tersebut, Diana juga mempertanyakan mengenai keamanan dan perlindungan data konsumen, peraturan pajak dan regulasi iklan yang masih perlu dibenahi, serta kesiapan sumber daya manusia menghadapi era perdagangan melalui platform media sosial seperti TikTok Shop ini.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: