Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Refleksi Kasus Dokter Qory, Ini Alasan Korban Sulit Tinggalkan Pelaku KDRT

        Refleksi Kasus Dokter Qory, Ini Alasan Korban Sulit Tinggalkan Pelaku KDRT Kredit Foto: Unsplash/Kristijan Arsov
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Dokter Qory sempat ingin mencabut laporan hukum terhadap suaminya, Willy Sulistio. Hal ini disampaikan pihak Polres Bogor.

        Namun begitu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati mengungkapkan dokter Qory Ulfiyah Ramayanti tidak jadi mencabut laporan polisi terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya Willy Sulistio. Hal ini disampaikan Ratna dalam Media Talk dengan tema “16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan”, Selasa (28/11/2023).

        Baca Juga: Viral Isu Dokter Qory, Menteri Bintang: Jangan Takut Melapor

        "Ketika kemarin ada wacana bahwa dokter Qory akan mencabut laporan itu, dengan pendampingan, kami berikan pemahaman-pemahaman, itu (cabut laporan) ditunda. Akhirnya (ada) keberanian untuk melanjutkan kasus ini pada proses penegakkan hukum," kata Ratna di Jakarta, Selasa (28/11/2023).

        Dokter Qory asal Cibinong, Kabupaten diketahui pergi dari rumah dan diviralkan suaminya sendiri melalui postingan di media sosial.

        Qory pergi ke kantor Dinas Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk meminta perlindungan. Selanjutnya Qory melaporkan suaminya ke Polres Bogor.

        Polisi kemudian menetapkan Willy Sulistio sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan menahannya. Namun, Polres Bogor sempat menyebut dokter Qory ingin mencabut laporannya.

        Pasalnya, Dokter Qory mengaku masih sayang dengan suami jadi alasan pencabutan laporan tersebut. 

        Penyebab korban KDRT sulit meninggalkan pelaku

        Ada sejumlah alasan yang membuat korban KDRT sulit meninggalkan pelaku kekerasan dan terjebak dalam 'lingkaran setan'. Ratna mengatakan korban KDRT enggan meninggal meninggalkan rumah dan pasangan yang melakukan kekerasan karena masalah privasi yang merupakan aib keluarga.

        Baca Juga: Nasabah PNM Mekaar Aceh, Berhasil Atasi KDRT Dapat Pujian Menteri PPPA

        “Hambatan terbesar yang kita hadapi dalam penanganan-penanganan kasus khususnya kekerasan dalam rumah tangga karena menganggap ini adalah privasi. Ini masalah keluarga. Ini masalah relasi hubungan antara suami istri. Masalah yang terjadi adalah domain yang terjadi di dalam keluarga,” kata Ratna.

        Selain itu, keinginan korban untuk tak melaporkan padangan yang melalukan kekerasan karena masih ingin mempertahankan keluarganya. 

        “Hal ini manusiawi. Maksudnya begini, pasti tujuan setiap akhir perkawinan itu adalah Samawa kan. Sakinah mawadah warohmah. Nah ketika niat baiknya adalah mengembalikan kepada tujuan akhir pernikahan atau suatu perkawinan dan kita tidak bisa dong ketika ini sudah menjadi hal yang 'oh saya akan memperbaiki' 'memperbaiki kehidupan saya menjadi suami dan istri' begitu ya. Dn kita tidak bisa langsung 'oh ini tidak bisa, ini harus di tindak hukum' kita tidak bisa seperti itu,” jelas Ratna.

        Baca Juga: Anies Baswedan Ingin Indonesia Tetap Jadi Negara Hukum: Kekuasaan Diatur Hukum Bukan Sebaliknya!

        Sementara, Head of Programme UN Women Indonesia, Dwi Faiz menyebut kemungkinan korban KDRT tidak hanya mengalami kekerasan fisik saja. Menurutnya, perempuan kalau sudah mengalami satu jenis kekerasan di dalam rumah tangga pasti dia mengalami jenis kekerasan yang lain. 

        “Jadi kenapa sih bucin banget, kok gak mau lapor, salah satunya karena mengalami kekerasan psikis. Dan kasus kekerasan psikis ini, dampaknya seolah-olah korbannya menjadi subkoordinat, jadi sama sekali tidak bisa melepaskan dirinya dari sebuah hubungan tersebut,” kata Dwi.

        Saat ini, lanjut Ratna pihaknya berupaya untuk mengedukasi perempuan di luar sana yang menjadi korban kekerasan untuk berani berbicara atas apa yang dialaminya.

        “Ada faktor-faktor sosial, ada faktor-faktor yang kemudian menjadi faktor utama. Namun dari sekian pesen kasus KDRT yang kemudian ditarik. Bukan berarti sekian persen kemudian yang mendapatkan hukuman. Dan kemudian, mendapatkan putusan yang inkrah. Itu jarang sekali. Karena itu. Nah ini yang kita bantu atasi, tetapi sekarang ini kami 3 atau 4 minggu yang lalu sebulan yang lalu, kami juga terus menggalakkan kampanye untuk Dear To Speak Up,” jelasnya.

        Ratna menyebut saat ini kasus kekerasan perempuan mengalami kenaikan. Hal ini, menurutnya karena korban sudah berani berbicara.

        “kasus-kasus pelapor sudah mulai naik. Karena mereka yakin dan sekarang ini, penyitas kekerasan sudah mulai berani bersuara. Berani menyampaikan bahwa saya adalah korban. Untuk itu memberikan motivasi, testimoni kepada perempuan yang lain. Jangan takut untuk lapor. Jangan pernah takut untuk dan malah menyembunyikan. Karena sekarang ini keterbukaan akses terhadap ruang-ruang layanan, pendampingan-pendampingan kita lakukan juga demikian,” ucap Ratna.

        Baca Juga: L’Oréal-UNESCO For Women in Science 2023 Dukung Kontribusi Perempuan Peneliti Hadirkan Terobosan Biodiversitas Inovatif dan Berkelanjutan

        “Kita tetap menjadi bagian dari keamanan kerahasiaan korban yang selalu kita jaga. Jadi korban nyaman dan mereka justru berani kok menyampaikan bahwa saya adalah korban kekerasan. Saya berani. Justru ini, diharapkan menjadi duta-duta kita berani untuk menyampaikan kepada masyarakat untuk mencegah. Dan itu sangat penting,” tambahnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rena Laila Wuri
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: