Jaga Perekonomian Kondusif, Kemenperin dan Asosiasi Pengusaha Minta RPP Kesehatan Tidak Memaksakan Pasal Tembakau
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki serapan tenaga kerja yang besar dan memiliki dampak ganda yang luas. Maka, dalam menyikapi pasal-pasal tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, diharapkan untuk tidak mengabaikan berbagai aspek tersebut.
“Kita perlu melihat bahwa IHT menyerap banyak sekali tenaga kerja, mulai dari petani tembakau, cengkeh, pekerja buruh pabrik, buruh tani, pekerja distribusi, ritel, dan lainnya,” ungkap Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, pada acara Manufacture Check bertajuk “RPP Kesehatan Larang Total Tembakau Nasib Industri & Pekerja Terancam?” baru-baru ini.
Berdasarkan data Kemenperin, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang. Selain itu, dari sisi penerimaan negara, IHT juga berkontribusi dalam bentuk Cukai Hasil Tembakau sebanyak Rp218 triliun pada tahun 2022. Jumlah ini hanya cukai, belum termasuk penerimaan negara dari pajak seperti PPh badan maupun tenaga kerja di industri ini.
“Kalau kecenderungan (dari) kebijakan ini (RPP Kesehatan) untuk memperketat, ini bukan tidak mungkin dampak positifnya akan berkurang atau hilang. Dampak negatifnya justu akan bertambah. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana pekerja dan penghidupan dari jutaan orang yang menggantungkan hidupnya dari IHT,” jelas Edy.
Baca Juga: Kemnaker Tegas Minta Pasal Tembakau Dihapus dari RPP Kesehatan Demi Lindungi Jutaan Tenaga Kerja
Sebenarnya, lanjut Edy, kebijakan yang ada berdasarkan peraturan sebelumnya, yaitu PP 109/2012, serta dari kebijakan tarif Cukai Hasil tembakau (CHT), dalam konteks pengendalian, dinilai sudah cukup berhasil dan baik untuk terus dijalankan.
Di kesempatan yang sama, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menegaskan harapan pelaku usaha adalah iklim yang kondusif dalam berbisnis, terutama adanya kemudahan berusaha dan kepastian hukum. Hadirnya pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan ini dirasa berkebalikan dengan harapan tersebut.
“Hampir 10% dari pendapatan negara pada tahun 2022 adalah dari hasil industri tembakau. Kontribusi devisa negara hampir Rp200 triliun. Ini perlu diperhatikan. Kalau ada pengaturan harus diantisipasi bukan dengan larangan tapi pengendaliannya,” tegasnya.
Senada, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwan, juga meminta agar besarnya kontribusi IHT terhadap negara menjadi pertimbangan besar dalam penyusunan pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan, terutama karena IHT memiliki kontribusi nyata dalam perekonomian, penciptaan lapangan kerja, juga multiplier effect di sektor lain.
“IHT mempunyai multiplier effect yang luas. Oleh karena itu , larangan yang cukup keras pada saat ini akan menimbulkan kegelisahan bagi pelaku di IHT maupun industri terkait seperti periklanan dan sebagainya,” kata Sutrisno.
Baca Juga: DPR Minta RPP Kesehatan Tidak Buat Ekonomi Kolaps
Sebagai pelaku usaha, Sutrisno memberikan tiga rekomendasi. Pertama, terkait pengaturan tembakau sebaiknya tidak dipaksakan dalam satu PP yang pembahasannya masih sangat dangkal. Sutrisno juga mengatakan PP 109/2012 sudah sangat memadai karena semua telah dijelaskan dampaknya secara detail.
Kedua, jika RPP Kesehatan ini dipaksakan untuk harus ada, maka muatannya mengadopsi dari PP 109/2012 yang sudah ada saja. Aturan tersebut berlaku saat ini dan ketentuannya masih relevan. Hal ini untuk mengantisipasi berkembangnya isu liar seperti isu tenaga kerja dan kontribusi ekonomi agar tidak ada lagi yang dirugikan ke depannya. Ketiga, Apindo memohon dalam proses pembahasan aturan ini, para pelaku usaha, termasuk asosiasi diajak bicara bukan hanya formalitas, tapi aspirasinya juga didengar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat