Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyebut praktik berbahaya Female Genital Mutilation/Cutting (FGMC) atau umum dikenal dengan istilah “sunat perempuan” hingga kini masih dilakukan oleh keluarga di beberapa daerah.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menunjukkan bahwa secara nasional, persentase anak perempuan yang pernah disunat sangat tinggi, mencapai 51,2 persen.
Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak katas Pengasuhan dan Lingkungan, Rohika Kurniadi Sari menyebutkan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 yang mengatur tentang Sunat Perempuan dan mendorong gerakan Pencegahan dan Penghapusan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) terus disosialisasikan. KemenPPPA juga telah mengambil langkah progresif untuk mendorong penghentian praktik sunat pada perempuan.
“Sunat pada perempuan atau anak perempuan dengan pemotongan dan pelukaan adalah praktik berbahaya bentuk pelanggaran hak perempuan dan anak, dan termasuk kekerasan berbasis gender. Tahun 2013 itu jadi tonggak pergerakan KemenPPPA untuk meninjau dampak dari praktik sunat pada anak perempuan. Sejak tahun 2016, KemenPPPA bekerja sama dengan UNFPA telah melakukan rangkaian advokasi dan sosialisasi pencegahan P2GP diperkuat dengan disusunnya Roadmap dan Rencana Aksi 2030 tentang penurunan dan penghapusan praktek P2GP di Indonesia,” ujar Rohika saat Workshop Pencegahan dan Penghapusan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) bagi Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), Selasa (4/12/2023).
Baca Juga: Peringati 16 HAKtP, KemenPPPA Serukan Perlindungan Perempuan dari Segala Bentuk Kekerasan
Rohika menyebut pendekatan baru perlu dipikirkan untuk mengatasi praktik sunat perempuan yang masih banyak terjadi. Jika selama ini pendekatan yang dilakukan adalah dari perspektif agama dan kesehatan, maka ke depan pendekatan yang dilakukan juga akan melihat dari perspektif anak dan remaja serta perspektif tokoh adat atau budayawan. Mereka akan aktif dilibatkan untuk bersinergi bersama dalam upaya advokasi dan sosialisasi pencegahan P2GP.
“Praktik sunat perempuan masih terjadi hingga kini, sehingga kita butuh terobosan, langkah pendekatan baru. Selama ini kami telah bersinergi dengan ulama dan ulama perempuan, pemerintah pusat dan daerah, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan berbagai organisasi masyarakat lainnya. Perspektif dari sisi remaja atau anak perempuan dan budaya belum dikupas, sehingga perlu juga melibatkan mereka dalam advokasi. Kami berharap dukungan dan sinergi bersama seluruh pihak,” tambah Rohika.
Pencegahan dan penghapusan praktik sunat perempuan menghadapi banyak hambatan dalam perjalanannya. Dari sisi agama, ada yang menyebut praktik sunat perempuan dipercaya dapat memuliakan perempuan (makrumah), walaupun secara medis jelas tidak ada manfaatnya untuk perempuan. Dokter Spesialis Obygon, Muhammad Fadli, Sp.Og menyebut, tidak seperti pada laki-laki bahwa sunat amat dibutuhkan untuk kebersihan (hygine) diri, pada perempuan, sunat justru tidak diperlukan.
“Anatomi kelamin laki-laki berbeda dengan anatomi kelamin perempuan. Khitan pada laki-laki menghilangkan preputium ataupun kulit yang menutupi kelamin yang dapat menghambat saluran berkemih dan menyisakan urine di kulit sehingga berpotensi besar menyebabkan infeksi saluran kemih. Sebaliknya, kelamin perempuan tidak tertutupi oleh preputium atau sudah terbuka sejak lahir sehingga saluran kemih tidak terhambat dan membersihkannya lebih mudah. Perlukaan seperti sunat pada perempuan justru akan mengakibatkan masalah medis baru seperti nyeri hebat, hingga pendarahan terutama bagian klitoris,” jelas Dokter Fadli.
Dokter Fadli juga menambahkan, klitoris merupakan bagian yang paling sensitif karena terdapat banyak pembuluh darah dan pusatnya ujung syaraf. Selain pendarahan, luka dengan pendarahan hebat yang timbul akibat praktik sunat pada perempuan yang tidak tertangani secara cepat dan tepat bahkan dapat menyebabkan kematian.
Ulama Perempuan sekaligus Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIG) Nur Rofiah, menekankan secara Al-Quran dan hadis tidak pernah secara tegas atau jelas yang menyatakan hukum sunat bagi perempuan. Hal ini justru melahirkan pandangan dan tafsir berbeda-beda yang bias gender dan pada akhirnya merugikan, menyakiti, bahkan membahayakan perempuan.
Baca Juga: KemenPPPA Ajak Konten Kreator Ramaikan Konten Ramah Anak
“Cara pandang yang melihat perempuan sebagai sumber fitnah, hasrat seksualnya perlu ditekan atau harus disucikan dengan sunat perempuan adalah akar dari tradisi berbahaya tersebut. Tidak satupun manusia lahir sebagai subjek sekunder. Perempuan adalah makhluk yang utuh sama seperti laki-laki, yang membedakan hanyalah ketaqwaan seseorang. Yang paling sedih tradisi itu (sunat perempuan) dilegitimas oleh agama, dan dianggap sebagai kebenaran karena itu terjadi dimana-mana,” tegas Nur Rofiah.
KemenPPPA melalui Deputi Pemenuhan Hak Anak berkolaborasi dengan UNFPA melaksanakan Workshop Pencegahan dan Penghapusan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) bagi Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) di 20 Provinsi dan 11 daerah piloting, pada 4-5 Desember 2023 di Jakarta sbeagai bentuk implementasi Road Map dan Rencana Aksi Pencegahan P2GP.
Selain pendidikan publik yang bersifat masif, KemenPPPA juga menyiapkan 3 strategi besar dalam pengimplementasian Road Map Pencegahan P2GP hingga tahun 2030 melalui penyediaan data nasional P2GP, advokasi kebijakan, dan sistem pengorganisasian terpadu.
PUSPAGA sebagai salah satu lembaga yang mampu menjadi pusat pembelajaran bagi masyarakat berperan penting untuk mendukung berbagai bentuk praktek berbahaya yaitu perkawinan anak dan P2GP di Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Amry Nur Hidayat