Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengungkapkan hipotesisnya yang mana menurutnya hasil Pemilu 2024 khususnya Pilpres telah ditentukan jauh-jauh hari sebelum 14 Februari hari pencoblosan.
Hal ini Refly sampaikan di Konferensi Pers Spektrum Oposisi Terpimpin (SPOT) yang mana berisi sejumlah aktivis pada Senin (4/3/24) di Jakarta.
“Apa pun hasilnya, ini hipotesis analisis saya, apa pun yang Anda coblos pada 14 Februari maka analisis saya hasil pemilu sudah ditentukan. Kalau kita bicara hasil pemilu terlalu naif apabila kita menghitung dari tanggal 14 saja, 14 itu pencoblosan,” jelasnya.
Refly mengungkapkan demikian menyinggung beberapa peristiwa yang jauh-jauh hari telah terjadi yang menurutnya mengarah ke dugaan kecurangan pemilu.
Menurutnya desain kecurangan sudah ada jauh-jauh hari mulai dari keinginan 3 periode, perpanjangan masa jabatan, sampai puncaknya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia Capres-Cawapres.
“Kalau kita bicara kecurangan pemilu itu jauh sebelumnya, bisa kita tarik keinginan 3 periode, perpanjangan masa jabatan, penundaan jadwal pemliu, sampai karena akhirnya ditolak terus oleh partai terbesar maka upaya yang paling maksimal menitipkan putra mahkota lewat putusan sang paman di MK,” tambahnya.
"Itulah yang membuat pemilu ini dari awal tidak jujur dan tidak adil, 'kok baru menolak sekarang?' Siapa bilang? Kita sudah menolak dari dulu, jadi protes itu bukan hanya setelah pencoblosan, tapi sebelum pencoblosan sudah kita protes," ungkapnya.
Baca Juga: Jangan Seret Rakyat ke Drama Politik, Anies-Ganjar-Prabowo Dipersilakan Kalau Mau Rekonsiliasi
Refly Harun juga menyoroti demokrasi di Indonesia yang menurutnya tak berkembang secara substantif sejak reformasi 1998.
“Setelah 98 terjadi reformasi kita kok bukannya tambah demokrasi berkembang secara substantif tetapi kok represif,” ujar Refly.
Refly mengungkapkan hal tersebut makin terasa di era atau periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat.
Refly menyinggung soal sejumlah aktivis dan tokoh yang ditangkap di era Jokowi karena bersikap kritis atau ditangkap dengan alasan yang menurutnya tak jelas.
“Terutama ada era kedua Jokowi. Indikatornya banyak salah satunya adalah semakin banyak aktivis ditangkap dilaporkan kemudian dipenjarakan itu hanya karena berbeda pendapat... Betapa banyak aktivis di era kedua Jokowi yang dipenjarakan dengan UU itu, bayangkan orang tulis saja orang cuit saja kok bisa ditangkap,” jelasnya.
Baca Juga: Bantah Jokowi yang Bilang Harga Beras Turun, PKS: Iya Turun, Tapi Saat Bulog Gelar Operasi
“Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana. Ada yang bilang baik-baik saja ditangkap juga (kasus swab Covid) Habib Rizieq karena dianggap menyebarkan kebohongan publik, yang kritik KM 50 ditangkap juga itu namanya Habib Bahar, mau pimpin demo lalu dapat panggilan dari Polda Banten itu namanya Eggi Sudjana, jadi kita bisa bayangkan betapa horornya negara ini kok mudah sekali orang ditangkap,” tambahnya.
Mengenai dugaan keterlibatan alias cawe-cawe Jokowi di Pilpres 2024, Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie mengatakan belum tentu Presiden Jokowi cawe-cawe di Pemilu 2024.
"Karena pemilu serentak, pilpres dan pilegnya jadi satu, pusat perhatian orang ke Pilpres maka semua kejadian ini yang dipersalahkan pilpresnya, dan pilpresnya ada anaknya presiden, maka semua kasus-kasus di seluruh Indonesia ini di alamatkan gara-gara cawe-cawenya Jokowi, padahal enggak," kata Jimly kepada wartawan di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (26/2), dikutip dari laman kumparan.
"Belum tentu karena tidak mungkin secara nasional Presiden akan bergerilya, secara sengaja pula tidak mungkin," sambungnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait: