Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Forum Alumni Perguruan Tinggi Indonesia dan Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia Gelar Nonton Bareng dan Diskusi 'Dirty Election'

        Forum Alumni Perguruan Tinggi Indonesia dan Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia Gelar Nonton Bareng dan Diskusi 'Dirty Election' Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Forum Alumni Perguruan Tinggi Indonesia (API) Perubahan dan Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI) menggelar nonton bareng film 'Dirty Election' dan diskusi bertajuk 'Membongkar Aktor Intelektual Kejahatan Pilpres 2024' di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (20/5/2024).

        Dalam diskusi tersebut, Ketua Umum APDI, Akhmad Syarbini mengatakan Pilpres 2024 memang sudah berakhir dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa hasil, dilanjutkan penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU RI.

        Namun hal itu tak serta merta membuat peristiwa yang terjadi selama proses Pilpres juga ikutan berakhir.

        “Kita menyadari sebagai anak bangsa Pilpres ini memang sudah berakhir dan MK sudah memutuskan namun ini belum berakhir,” kata Akhmad.

        Akhmad menerangkan pihaknya sebagai civil society akan terus mengedukasi masyarakat termasuk pemerintah dan penyelenggara pemilu, bahwa perlu ada hikmah yang diambil dari kejadian Pilpres kemarin.

        Jika tak ada hikmah yang bisa diambil untuk perbaikan ke depan, maka terasa sia-sia gelontoran anggaran Rp76 triliun untuk pelaksanaan Pilpres kemarin.

        “Supaya kita bisa mengambil hikmah dari kejadian pilpres. Kalau bangsa ini tidak bisa mengambil hikmah untuk perbaikan ke depan itu sudah sangat konyol, dengan anggaran Rp76 triliun,” katanya.

        Dalam kesempatan yang sama, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyinggung soal pernyataan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (AS) bahwa pemerintah dibentuk untuk menaati kesepakatan antara rakyat atau konstitusi. 

        Baca Juga: Ketua Fraksi PKS : Bantuan RI Untuk Gaza Dicegat dan Diinjak-Injak Israel, Ini Tindakan Biadab!

        Adapun konstitusi dalam kontrak sosial juga bermakna kesepakatan antar rakyat. Sehingga jika konstitusi itu dilanggar, maka rakyat pantas dan punya hak untuk mengganti pemerintahan yang melanggarnya.

        “Konstitusi di dalam teori kontrak sosial, yaitu adalah kesepakatan antar rakyat. Kalau pemerintah melanggar kesepakatan antara rakyat, melanggar konstitusi, maka hak rakyat adalah untuk mengganti pemerintahan yang melanggar konstitusi,” ucap Anthony.

        Ahli yang dihadirkan kubu 01 Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) ini turut menerangkan berdasarkan teori kontrak sosial dari John Locke, rakyat punya hak untuk melakukan revolusi mengganti pemerintahan yang dianggap tirani atau pemerintahan yang dipegang untuk kepentingan pribadi.

        “Itu dibanggai oleh teori kontrasosial dalam teori John Locke. John Locke, bahkan filsuf dari Stockmann, itu bahkan mengatakan bahwa kalau perlu hak rakyat adalah melakukan revolusi untuk mengganti pemerintahan tirani,” ucap dia.

        Sementara Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyinggung pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 90/PUU-XX/2023 perihal batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden. 

        Kata Petrus, hakim yang berperan besar dalam putusan 90 adalah Anwar Usman. Paman dari Gibran Rakabuming Raka itu sengaja memengaruhi hakim konstitusi lainnya untuk setuju dengan perkara 90 agar batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden mengandung frasa selama menjabat atau pernah menjabat kepala daerah. Hal itu yang akhirnya menguntungkan Gibran.

        Baca Juga: Ahok-Djarot Disuarakan Maju di Pilgub Sumut, Kader PDIP: Bukan Paslon Biasa

        Putusan perkara nomor 90 itu pun dianggap Petrus janggal. Pasalnya ada 5 perkara sejenis yang diajukan oleh berbagai pihak dan diputus di hari yang sama. Ketika 4 perkara awal ditolak, perkara nomor 90 justru dikabulkan. Padahal rentang waktu antara putusan perkara sebelumnya dengan pembacaan putusan perkara 90 hanya berselang 1 jam.

        “Perkara nomor 90 itu sendiri  adalah satu diantara 5 perkara yang diajukan dengan substansi yang sama, pasal UUD 1945 nya sama, pasal di UU Pemilu nya juuga sama, Pasal 169 huruf i,” katanya.

        “Tapi di hari yang sama, 4 perkara lain ditolak, tapi perkara 90 itu dikabulkan,” lanjut Petrus.

        Ia juga mempertanyakan mengapa permasalahan proses putusan perkara nomor 90 tidak digali maksimal oleh kubu paslon 01 dan 03 dalam persidangan di MK, padahal hal itu dituangkan dalam permohonan kedua kubu. 

        “Jadi apa sebab dosa perkara 90 tidak digali secara maksimal dalam persidangan,” tanya Petrus.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: