Pada tulisan sebelumnya di media ini tanggal 13 April 2024 yang berjudul "Solusi dari audit internal tidak efektif membuat audit internal dinilai tidak berfaedah", penulis menyampaikan pentingnya kompetensi menemukan solusi atas suatu permasalahan yang ditemukan auditor internal pada auditnya.
Menemukan solusi tidak lepas dari menemukan masalah atau temuan audit terlebih dahulu. Kompetensi menemukan solusi melalui teknik analisa akar permasalahan (root cause analysis) sama pentingnya dengan kompetensi menemukan dan mengembangkan permasalahan atau temuan audit. Demikian pula sebaliknya.
Seharusnya auditor internal dengan kemampuan komunikasinya memberi tahu dan mempersuasi mereka (pihak yang diaudit atau klien) mengenai apa temuan atau permasalahan yang dijumpai, mengapa temuan tersebut penting dan bernilai bagi mereka yang ditinjau dari peluang bisnis, peluang kehematan biaya, keefektifan atau risikonya. Auditor internal wajib bekerja bersama mereka untuk menyepakati fakta temuan tersebut, dampaknya terhadap bisnis, dan solusi apa yang harus dilakukan. Ini merupakan elemen-elemen yang harus dirumuskan dan dijabarkan secara tertulis atau lisan dengan baik.
Namun, kondisi di atas tak tercapai karena selain kegagalan menemukan solusi yang sistemik dan fundamental, juga karena kegagalan dalam mengembangkan permasalahan atau temuan audit. Beberapa kesalahan itu terjadi tanpa disadari auditor internal ketika menemukan permasalahan audit dan sayangnya auditor internal bersikeras mempertahankan permasalahan audit itu. Berikut ini kesalahan dalam merumuskan dan mengembangkan temuan audit yang umum dilakukan auditor internal.
Kesalahan pertama, auditor internal tidak cukup menggali fakta secara empiris dan objektif. Auditor internal masih memasukkan persepsi menganggap bahwa temuannya penting tanpa mampu menunjukkan kepada mereka yang diaudit apa pentingnya ditinjau dari kehilangan peluang bisnis, kehilangan peluang kehematan biaya, ketidakefektifan atau risikonya yang signifikan. Seringkali juga, auditor internal hanya berdebat pada interpretasi dan prediksi narasi suatu prosedur yang dianggap mengandung kelemahan tanpa mampu menunjukkan fakta dan dampak dari kelemahan tersebut.
Temuan tanpa fakta secara empiris dan objektif serta tidak menunjukkan apa pentingnya temuan tersebut membuat mereka yang diaudit tidak tertarik dan tidak respek dengan hasil kerja auditor internal.
Kedua, auditor internal terlalu cepat menemukan masalah yang tampak di permukaan saja. Bisa jadi auditor internal hanya mengukur dari adanya ketidaksesuaian dengan prosedur baku tanpa peduli bahwa prosedur baku bisa usang atau tidak relevan lagi atau menemukan kekeliruan tanpa peduli bahwa kekeliruan adalah hal manusiawi yang tidak mungkin tidak ada. Tidak ada kajian apakah temuan itu akan melampaui risiko yang dapat ditoleransi, mengancam pencapaian sasaran organisasi, dampaknya bernilai signifikan (material), berapa frekuensi ketidaksesuaian atau kekeliruan, apakah ketidaksesuaian atau kekeliruan tersebut sesaat ataukah berlangsung cukup lama, apakah sistemik atau kasus tertentu. Auditor internal hanya melihat beberapa outlier atau deviasi atau kekeliruan dan memberikan kesimpulan sebagai suatu temuan yang penting. Tentu saja, temuan seperti ini membuat mereka yang diaudit tidak tertarik dan tidak respek dengan hasil kerja auditor internal.
Ketiga, auditor dalam melakukan tugasnya lebih sibuk menghabiskan waktunya pada evaluasi dokumen dan dokumentasi. Terlalu sedikit auditor yang mendengarkan dan berdialog. Padahal asal kata auditor adalah auditory yaitu mendengarkan. Auditor internal mungkin tidak mempunya kompetensi komunikasi, mungkin tidak mengetahui model bisnis, risiko bisnis dan proses bisnis. Mungkin juga auditor internal begitu bangga dengan temuan berbasis dokumen dan rekomendasinya, sehingga auditor internal tidak terbuka untuk mendengar bahwa auditor internal salah persepsi atau tergesa-gesa menyimpulkan. Mungkin mereka belum cukup dewasa untuk memahami bahwa terkadang risiko perlu diambil (diterima) sepanjang risk appetite memenuhi dan risiko yang dapat ditoleransi dapat diterima dalam rangka mencapai suatu sasaran dan tujuan organisasi. Tentu saja, temuan seperti ini membuat mereka yang diaudit menganggap auditor internal adalah penghalang dan penjaga yang kaku tanpa memahami kompleksitas dan masalah operasional dan bisnis.
Keempat, auditor internal membesar-besarkan masalah kecil atau menjadikan apapun sebagai temuan. Maka, ada yang menyebut moto auditor internal adalah pantang pulang sebelum temuan. Moto yang mirip dengan pemadam kebakaran, pantang pulang sebelum padam. Masalah kecil itu terjadi karena pada saat melaksanakan audit, audit internal tidak melakukan survey pendahuluan dan atau perencanaan audit yang matang sehingga tidak mempunyai fokus audit berbasis risiko signifikan dan memiliki/memberikan nilai kepada mereka yang diaudit. Akibatnya temuan audit melebar dan menganggap semua temuan perlu mendapat atensi. Kondisi keempat ini seperti kondisi ketiga juga disebabkan auditor internal tidak membawa suatu temuannya ke perspektif risk appetite dan risiko yang dapat diterima sehingga hal kecil dianggap besar atau disebut myopic view.
Kelima, terkait dengan keempat, temuan auditor internal hanya bersifat administratif dan perbaikan prosedur serta pengendalian transaksional. Temuan ini karena tak mampu menggali yang lebih fundamental dan sistemik serta tidak ditunjang ketajaman bisnis dan operasional membuat auditor terbelenggu pada temuan fakta kelemahan administratif, prosedural, dan pengendalian transaksional. Hal ini juga karena kesulitan auditor dalam melakukan pengembangan temuan yang lintas bagian dan melibatkan pengendalian yang tidak kasat mata atau tidak tertulis seperti kesesuaian corak kepemimpinan, budaya dan etika. Tentu pelarian termudah untuk temuan adalah administratif dan perbaikan prosedur serta pengendalian transaksional. Temuan jenis ini juga paling nyaman bagi auditor internal untuk memantau tindakan perbaikan oleh mereka yang diaudit.
Keenam, rentetan berikutnya adalah temuan yang dicatat auditor internal tidak membawa perubahan yang berarti untuk organisasi, dalam arti tidak meningkatkan efisiensi, keefektifan kerja, penajaman dan perbaikan strategi dan model bisnis, perbaikan perilaku dan budaya organisasi serta perbaikan tata kelola dalam arti luas. Salah satu penyebabnya adalah auditor internal menghindari penyelesaian permasalahan yang lintas bagian dan jangka panjang serta menyangkut sesuatu yang tak terwujud sehingga tidak dapat ditentukan kapan dan bagaimana penyelesaian perbaikan atas temuan ini.
Akhirnya, auditor internal berlaku seperti controller atau checker aktivitas dan prosedur. Penyebab lain adalah keengganan auditor internal menerima penugasan yang kompleks lintas organisasi, tanpa kriteria yang sudah baku, dan terlibat dalam analisa kritis dan berargumentasi berbasis pengetahuan. Akhirnya, peran auditor internal menciut bukan sebagai pembawa dan katalis perubahan serta penasehat terpercaya (trusted advisor) yang terdepan atas masalah yang sedang dan akan muncul.
Ketujuh, temuan yang dihadirkan auditor internal sudah basi. Bisa jadi karena motto pantang pulang sebelum temuan sehingga apapun diangkat menjadi temuan. Temuan basi ini adalah temuan yang sudah diketahui oleh mereka yang diaudit bahkan temuan ini sudah dilaporkan dan dirapatkan oleh mereka yang diaudit dengan para pihak terkait. Auditor merasa sayang untuk membuang temuan ini. Tidak ada informasi baru, tidak ada wawasan baru yang membawa kecerdasan, dan tidak ada nilai kebaruan dari temuan ini. Wawasan atau insight diperoleh apabila auditor internal sangat mendalam pemahamannya atas temuan. Seharusnya auditor internal membantu mengevaluasi masalah atau temuan yang sudah diketahui ini lebih dalam dan berbobot sehingga lebih holistik dan fundamental serta lebih akseleratif berupa menemukan hambatan penyelesaian yang umumnya menyangkut perubahan mental, pola pikir, dan kerja sinergi.
Baca Juga: Megafraud Kembali Terjadi pada Perusahaan Milik Negara, Apa yang Salah?
Kedelapan, auditor internal menghindari argumentasi dan mempersuasi penerimaan temuan sehingga mencari temuan yang mudah dan sedikit berargumentasi. Dalam perumusan dan pengembangan temuan, menurut seorang tokoh influencer auditor internal, auditor internal kelas dunia tidak hanya mampu menyepakati apa yang harus dilakukan dengan manajemen, namun juga mencapai titik temu penerimaan secara suka rela dan senang hati (buy-in) apa yang diakui manajemen sebagai kepentingan terbaiknya untuk menerima perlunya perubahan yang sistemik, konseptual dan fundamental. Ini menjadi tantangan bagi semua auditor internal yang ingin disebut profesional. Hal ini sangat tergantung seberapa menarik dan pentingnya, seberapa bernilai dan bermanfaatnya temuan auditor internal. Hal ini bukan bersumber dari pikiran dan persepsi auditor internal semata, melainkan harus dari sudut pandang mereka yang diaudit. Untuk itu, auditor internal harus aktif mendengar dan kompeten berkomunikasi untuk membawa mereka yang diaudit bahwa temuan ini dan penyelesaiannya adalah riel kebutuhan mereka.
Terkait kondisi kedelapan ini, tokoh influencer tersebut menyebutnya sebagai buanglah aktivitas termasuk temuan yang tidak bernilai dan bermanfaat bagi pelanggan audit internal yaitu manajemen dan dewan. Influencer ini menekankan auditor internal pada hal yang lebih prinsipil, konseptual, fundamental dan holistik. Hal ini disebut "lean".
Proses dan keluaran yang lean menekankan dan menspesifikasi suatu nilai dan manfaat dari perspektif pelanggan dari auditor internal dan mempertanyakan apakah pelanggan mau sukarela, bukan karena terpaksa, mengeluarkan sumber dayanya untuk apa yang akan dilakukan untuk mengikuti temuan auditor internal.
Lean juga meminta perhatian yang cermat tentang apa yang benar-benar terjadi di organisasi atau disebut "Gemba" atau "Go Look See". Bahkan standar profesi audit internal meminta auditor internal berpikir ke depan atas apa yang akan terjadi di organisasi yang membahayakan keberlanjutan organisasinya. Gemba dan berpikir ke depan seharusnya menjadi fokus audit untuk menghasilkan temuan yang bernilai dan bermanfaat. Lean juga menghendaki pada arus kerja dan proses bisnis yang bernilai tambah dan mencegah terjadinya ketidakefisienan, ketidakhematan, ketidakefektifan dan buangan atau sisa yang tidak perlu atau disebut "Muda".
Kesembilan, unit audit internal tidak menerapkan kendali mutu dalam proses pengembangan temuan melalui supervisi dan ketiadaan masukan dari tim atau personil yang memiliki kompetensi di masalah tersebut, sehingga urgensi dan signifikasi (materialitas) temuan menjadi tidak diketahui, tidak penting, tidak menarik, tidak bernilai dan tidak bermanfaat. Biasanya auditor internal terpaku pada proses bisnis, prosedur, pengendalian transaksional pada proses bisnis yang sedang berjalan. Tidak ada upaya membongkar "kemapanan" tata kelola tersebut dengan memberikan sentuhan dan tantangan berupa wawasan (insight) dan pandangan baru yang konseptual dan empiris. Apabila wawasan dan pandangan baru ingin diterapkan, auditor internal bukan hanya wajib selalu mempertahankan pengetahuannya, juga menerapkan kendali mutu di atas. Penyebab auditor internal terpaku pada sesuatu yang biasa dijalankan disebut sebagai functional fixation yaitu suatu keterbatasan di dalam persepsi, dimana seseorang berpikir tentang sesuatu hanya pada fungsinya yang selalu berulang, daripada memikirkan sesuatu tersebut dengan cara yang baru yang dapat digunakan.
Kesepuluh, auditor internal tidak mengembangkan temuan lebih sistemik dan fundamental atau hanya terbatas pada unit kerja mereka yang diaudit serta menyerahkan penyelesaian temuan kepada mereka yang diaudit. Ini membuat masalah atau temuan menjadi bersifat sektoral atau skala menjadi lebih sempit dan sederhana. Padahal, apabila dilakukan teknik pengembangan temuan yang tepat, akan diperoleh penyelesaian temuan yang lebih berkualitas. Sependapat dengan influencer audit internal bahwa tugas auditor internal sebagai ahli adalah menemui orang-orang yang terkait dimana pun mereka berada dan kemudian membawa mereka ke tempat yang mereka inginkan dan ke tempat sepatutnya untuk menggali dan menyelesaikan masalah secara sinergi dan tuntas.
Baca Juga: OJK dan Asosiasi Fintech Luncurkan Panduan Strategi Anti-Fraud bagi Penyelenggara ITSK
Kesebelas, auditor internal tergesa-gesa dan tidak cukup waktu melakukan pengembangan temuan audit karena harus melengkapi dan merapikan dokumentasi serta sekedar untuk menyelesaikan prosedur audit. Ini berarti, prosedur audit dan administrasi audit menjadi kontrak mati yang harus dijalankan oleh auditor internal dan menjadi basis penilaian kinerja auditor. Padahal untuk mendapatkan temuan berkualitas dan dapat dibutuhkan oleh mereka yang diaudit bukan persoalan mudah dan dapat segera ditemukan. Ini membutuhkan perubahan pola pikir dan paradigma seluruh jajaran audit internal bahwa hasil audit haruslah memberikan nilai dan manfaat kepada yang diaudit. Misalnya, perlukah mengerjakan sampai selesai seluruh prosedur audit sementara di lapangan dijumpai sesuatu yang berbeda dan justru lebih penting untuk dievaluasi (ingat Gemba) dari pada bertahan pada semua prosedur audit yang nilai tambahnya lebih kecil daripada Gemba tersebut.
Kedua belas, temuan dan kerja auditor internal serupa dengan controller dan checker atau serupa dengan pemeriksa dan auditor lain sehingga menimbulkan kelelahan dan kefrustasian pada yang diaudit. Semua auditor menyoroti hal yang sama dan auditor internal malah tidak mampu memperlakukan temuan berdasarkan urgensi dan signifikansinya atau mengambil peran serupa dengan controller dan checker. Kesalahan ini tidak lepas dari tipikal audit berupa audit kepatuhan dan audit atas risiko dan pengendalian. Selain itu, semua yang tidak sesuai dengan kriteria adalah temuan sehingga dijuluki sebagai pencari temuan dan kriteria yang disukai auditor adalah kriteria berupa ketentuan dan prosedur internal dan eksternal sehingga dijuluki anjing penjaga. Padahal di masa kini yang sudah seharusnya menerapkan model tiga lini, aktivitas audit intern sebagai lini ketiga haruslah berskala organisasi dan bersifat strategis. Auditor internal harus meluangkan waktu lebih banyak untuk melihat risiko dan permasalahan yang yang akan menggagalkan strategi organisasi sehingga berdampak serius pada kemungkinan pencapaian tujuan dan keberlanjutan organisasi. Audit internal harus menghabiskan waktu sesedikit mungkin untuk hal lain yang kurang urgensi dan signifikan serta hal yang mikro (small stuffs).
Untuk memperoleh temuan berkualitas dan berdampak kepada organisasi serta dibutuhkan oleh klien yang diaudit, perlu transformasi sumber daya manusia audit internal itu sendiri berupa perubahan pola pikir dan paradigma, kebiasaan serta kemauan pengayaan pengetahuan konseptual di semua jenjang audit internal.
Ini membutuhkan visi dan kepemimpinan yang jelas dan dukungan dari manajemen dan board karena temuan berkualitas tersebut jelas memberikan kontribusi rekomendasi dan pendapat yang bernilai dan bermanfaat atas masalah-masalah yang sedang dan akan dijumpai organisasi. Selanjutnya dalam praktik merumuskan temuan audit, dua belas kesalahan tersebut di atas dapat menjadi perhatian semua auditor internal. Dengan pendekatan perbaikan atas dua belas kesalahan tersebut, semoga fungsi audit internal menjadi lebih bernilai dan sangat dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan di internal organisasi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: