Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Megafraud Kembali Terjadi pada Perusahaan Milik Negara, Apa yang Salah?

Oleh: Diaz Priantara, Ak, BKP, CA, CPA, CICA, CCSA, CRMA, CFSA, CIA, CFE

Megafraud Kembali Terjadi pada Perusahaan Milik Negara, Apa yang Salah? Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Belakangan ini ramai menjadi perbincangan publik tentang skandal megafraud yang menerpa Timah Tbk sebagai entitas yang berada di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Indonesia EximBank atau Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebagai entitas yang berada di bawah Kementerian Keuangan. 

Sebelumnya, skandal megafraud juga menerpa perusahaan milik negara di bidang konstruksi, skandal megafraud atau dugaan fraud di bidang asuransi atau penjaminan hari tua dan pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Anggota TNI/Polri, dugaan fraud di banyak dana pensiun yang berinduk kepada BUMN. Mengingat skandal dan dugaan megafraud ini berada di ranah perusahaan publik yang modalnya dan kekayaannya berasal dari Penyertaan Modal Negara yang notabene berasal dari uang negara maka terminologi fraud menjadi akrab disebut korupsi. 

Pada kasus korupsi Timah Tbk disebut-sebut kerugian Rp271 triliun selama tahun 2015 sampai 2022 (idntimes, 29 Maret 2024), sedangkan pada kasus korupsi LPEI disebut-sebut kerugian Rp2,5 triliun selama tahun 2013 sampai 2019 (katadata.co.id, 6 Januari 2022, tempo 18 Maret 2024).

Menurut informasi Kejaksaan Agung, Indonesia Eximbank (LPEI) diduga memberikan pembiayaan ekspor ke berbagai debitur tanpa mengikuti prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan tidak sesuai dengan aturan kebijakan perkreditan. Banyak modus operandi pembobolan bank melalui kredit.

Sayangnya, tidak ada penjelasan rinci bentuk pelanggaran hukum atas tata kelola dan kebijakan perkreditan tersebut. Perbuatan melawan hukum tersebut menyebabkan kredit macet atau non performing loan (NPL) pada tahun 2019 meningkat mencapai 23,99% atau Rp22,87 triliun dan LPEI merugi hingga Rp4,7 triliun berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019.

Baca Juga: OJK Dukung Kemenkeu Usut Tuntas Kasus Fraud di LPEI

Rasio pencadangan kerugian penurunan nilai kredit hanya 49%, kurang jauh dari seharusnya. Untuk menambal kerugian dan permodalan, LPEI sempat mengajukan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun pada 2020. Seperti menjadi kelaziman, megafraud melibatkan orang dalam dan berkolusi, kejaksaan menetapkan sejumlah tersangka, termasuk dari pejabat LPEI.

Berbeda dengan skandal megafraud di LPEI yang nyaris tidak menjadi gaduh di dunia maya, skandal supermegafraud di Timah Tbk mengundang hiruk pikuk di media elektronik dan media social karena melibatkan crazy rich dengan kehidupan mewah seperti di surga dan menjadi impian manusia, melibatkan artis, dan nilai kerugian negara yang super fantastis. 

Modus korupsi di Timah Tbk diduga pada pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai 2022. Pada kasus Timah, muncul crazy rich yang menjadi “broker penghubung” antara Timah Tbk dengan sejumlah perusahaan smelter untuk mengakomodir penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk. Seperti menjadi kelaziman, mega fraud melibatkan orang dalam dan berkolusi, kejaksaan menetapkan sejumlah tersangka, termasuk dari pejabat Timah Tbk.

Terdapat kesamaan seluruh skandal megafraud di perusahaan-perusahaan yang dimodali uang negara. Disebut megafraud karena fraud ini memberikan kerugian besar dan melibatkan pucuk-pucuk perusahaan.

Perbuatan fraud yang melibatkan atau dilakukan oleh pucuk-pucuk perusahaan atau management fraud sebagai aktor utama selalu membawa kerugian besar. Bahkan mereka mampu mendikte jajaran perusahaan untuk mengikuti kemauannya dan mengabaikan tata kelola beserta perangkat prosedurnya serta merekayasa aturan sampai dengan dokumentasi transaksinya. Mereka bisa mengatur dan membuat kesepakatan dengan pihak-pihak yang memberi keuntungan kepadanya.

Perhatikan kasus-kasus megafraud yang selalu melibatkan management sebagai orang dalam dan adanya kolusi serta rekayasa. Idealnya konsep tata kelola dan budaya perusahaan dapat memberikan iklim kerja dan perilaku yang fungsional dan mencegah kriminogenik.

"Criminogenic" adalah istilah yang merujuk kepada faktor-faktor atau kondisi-kondisi yang meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku kriminal atau melanggar hukum. Istilah ini digunakan dalam konteks penelitian kriminologi dan ilmu perilaku kriminal untuk menjelaskan unsur-unsur yang mempengaruhi tingkat kejahatan di suatu wilayah atau dalam populasi tertentu.

Beberapa contoh faktor criminogenic seperti ketidaksetaraan ekonomi, ketidakstabilan sosial, ketidaksetaraan dalam akses terhadap pendidikan atau kesempatan pekerjaan, pola keluarga yang terganggu, kebijakan kriminal yang tidak efektif, serta lingkungan fisik yang tidak aman atau tidak terawat.

Faktor krimonogenik dimuka bukan hanya terjadi di masyarakat namun bisa terjadi di perusahaan. Enron adalah salah satu contoh terjadinya krimonogenik di perusahaan.

Bahwa perusahaan-perusahaan tersebut hanya retorika, slogan, dokumen, dan publikasi telah menerapkan tata kelola dan budaya perusahaan yang baik. Semua retorika, slogan, dokumen, dan publikasi untuk keperluan menggugurkan pemenuhan kewajiban regulasi (tuntutan) tata kelola yang baik atau untuk mendapatkan pencitraan serta penghargaan. Terbukti tata kelola termasuk budaya perusahaan yang baik tidak berfungsi efektif.

Baca Juga: Survey Fraud Global 2024 Telah Beredar

Salah satu sebab tidak berfungsi efektif karena kepemimpinan tidak efektif dan ada noda integritas dalam memanfaatkan kedudukan, jabatan dan kewenangan. Salah satu contoh kepemimpinan tidak efektif adalah tidak memberikan suri tauladan (pimpinan hanya omong doang tetapi dirinya tidak mau mematuhi atau menerapkan apa yang menjadi ketentuan dan adanya cacat integritas). 

Menurut ACFE, perbuatan fraud dengan pemanfaatan kedudukan, jabatan dan kewenangan untuk kepentingan  dan atau keuntungan pribadi dan keluarga pelaku atau untuk pihak lain adalah korupsi. Audit internal tidak mampu menjangkau perbuatan fraud yang dilakukan oleh pucuk-pucuk atas perusahaan, kecuali perusahaan ini membuat tata kelola anti-fraud yang holistic dan diimplementasi secara efektif seperti peran pengawasan dari Dewan Komisaris yang berkualitas, kritis, dan intensif atas penerapan antifraud, tuntutan ekspektasi pada rencana dan hasil audit intern serta komunikasi dengan audit intern. 

Kesamaan lain adalah efek jera yang membuat calon pelaku fraud berpikir ulang dan takut berbuat fraud yang melawan hukum, belum berhasil. Efek jera diperoleh karena adanya suatu rangkaian deteksi fraud, investigasi fraud dan penegakan hukum berjalan lurus, tanpa intervensi, tidak parsial. Efek jera pada pelaku korupsi sepertinya tidak ada karena pelaku fraud tidak pernah takut dengan sanksi penjara (yang bisa dikurangi dengan remisi dan terdapat mafia Lembaga pemasyarakatan yang bisa melonggarkan kurungan badan) dan tidak pernah takut seluruh hartanya dirampas dan ia menjadi miskin.

Meskipun negeri ini sudah memiliki Lembaga analisis intelijen keuangan yang dapat melacak pencucian uang, namun hampir tidak ada informasi keberhasilan mengembalikan aset milik koruptor di luar negeri dan perampasan aset di dalam negeri.

Kesamaan terakhir, fraud ternyata bukan hanya dilakukan oleh pelaku-pelaku dari kelas bawah yang mengambil, menggelapkan, menyalahgunakan harta perusahaan untuk menutupi kebutuhan dasarnya karena pendapatan rutinnya tidak cukup secara permanen atau insidentil tidak cukup menutupi kebutuhan itu.

Fraud yang mengerikan justru dilakukan oleh pucuk-pucuk pimpinan yang notabene bukan kelas bawah yang pendapatan rutinnya masih kurang. Benar juga ungkapan power tends to corrupt, kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada kedudukan dan jabatan cenderung disalahgunakan untuk korupsi.

Ironisnya hasil fraud bukan untuk menutupi kebutuhan dasar tetapi untuk menambah kekayaannya yang memang sudah banyak namun selalu kurang dan digunakan untuk biayai kehidupan mewah (baca foya-foya).

Ironisnya lagi kekayaan tersebut disembunyikan (walau ada juga yang dipamerkan) dan ditaruh di negara lain sehingga sulit terlacak dan dirampas. Fraud ini adalah bukan karena need tetapi greedy (keserakahan).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: