Upaya pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah kelapa sawit melalui peluncuran Biodiesel 50 (B50) pada Minggu (18/8/2024) mendapatkan apresiasi dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Akan tetapi, GAPKI mengungkapkan beberapa tantangan yang berkaitan dengan program biodiesel dan produktivitas sawit ke depannya.
Direktur Eksekutif GAPKI, Mukti Sardjono menjelaskan bahwa tantangan pertama yang dihadapi dalam melanjutkan program tersebut adalah peningkatan produktivitas sawit itu sendiri. Salah satunya bisa dicapai melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Baca Juga: Bencana Makin Dekat, Ini Strategi Perusahaan Sawit Melawan La Nina
"Dengan adanya B50, kita tidak punya pilihan selain meningkatkan produktivitas sawit. Jika tidak, kita mungkin harus mengurangi ekspor," ujar Mukti dalam pernyataan tertulisnya, dikutip Warta Ekonomi, Rabu (21/8/2024).
Mukti menyoroti peningkatan produktivitas melalui program PSR harus mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya, realisasi program PSR selama ini masih belum mencapai target yang diharapkan.
Selain itu, dia juga berharap adanya komitmen untuk meningkatkan luas areal perkebunan. Misalnya, di Papua. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa program hilirisasi sawit untuk kebutuhan energy tidak mengganggu pasokan ekspor itu sendiri.
Baca Juga: Menilik Masa Depan Digitalisasi Perusahaan Industri Sawit
"Saya kira akan sangat baik jika ada kebun khusus untuk energi, sehingga tidak akan mengganggu pasokan kita untuk ekspor," jelasnya.
Untuk diketahui, Pemerintah melalui Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman, sebelumnya secara resmi meluncurkan bahan bakar campuran solar dan minyak sawit dengan rasio 50% atau dikenal dengan B50 pada Minggu (18/8/2024).
Adapun peluncuran tersebut merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha. Salah satu yang terlibat yakni PT Jhonlin Agro Raya.
Baca Juga: Masuk Musim Kemarau, Idealkah Menanam Kelapa Sawit?
Amran mengatakan jika langkah tersebut adalah bagian dari upaya Indonesia untuk memastikan akses energy yang terjangkau serta ramah lingkungan. B50 menurutnya tidak hanya membantu untuk mengurangi emisi karbon saja, melainkan juga berperan dalam menekan defisit perdagangan.
"Biodiesel B50 dapat menghemat devisa negara yang biasanya digunakan untuk impor solar, yang membebani keuangan negara sebesar Rp300-400 triliun per tahun," kata Amran.
Di sisi lain, pemanfaatan minyak sawit untuk program B50 ini juga merupakan strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadpa pasar ekspor sawit yang kerap mendapat kampanye negatif serta berdampak pada terganggunya ekspor sawit nasional.
Baca Juga: Serbundo: Masih Banyak Buruh Perkebunan Kelapa Sawit Tak Dapat BPJS
"Saat ini, kami bertugas untuk memastikan kesiapan pemerintah dalam implementasi program Biodiesel B50, tidak hanya dari sisi suplai bahan baku Crude Palm Oil (CPO), tetapi juga dalam skala yang lebih luas," pungkas Amran.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar