- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Indef Nilai Power Wheeling Berisiko Bebani APBN Pemerintahan Prabowo-Gibran
Peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menilai bahwa skema power wheeling tidak seharusnya dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Menurutnya, penerapan skema ini berisiko membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa mendatang.
"Pemerintah dan DPR tidak perlu menjadikan power wheeling sebagai stimulus dalam memacu energi baru terbarukan. Karena power wheeling sangat membahayakan keuangan negara. Beban negara berisiko naik dan membahayakan APBN pada periode mendatang,” ujar Abra kepada media.
Abra menjelaskan bahwa risiko beban APBN dapat meningkat akibat tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi dari masuknya pembangkit listrik swasta melalui skema power wheeling. Skema ini memungkinkan pembangkit listrik swasta menjual listrik dari energi baru terbarukan (EBT) langsung kepada masyarakat dengan menggunakan jaringan transmisi atau distribusi milik negara.
"Ada beberapa risiko sebagai implikasi skema power wheeling yang selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara,” tegas Abra.
Baca Juga: Pakar Energi Nilai Indonesia Tidak Butuh Power Wheeling
Salah satu risiko utama yang diidentifikasi adalah kebutuhan tambahan cadangan putar (spinning reserve) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem kelistrikan akibat sifat intermiten dari energi terbarukan. Setiap masuknya 1 gigawatt (GW) pembangkit melalui skema power wheeling, menurut Abra, dapat mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun yang meliputi biaya Take or Pay dan backup cost, sehingga dapat membebani keuangan negara.
Abra menekankan bahwa pemerintah tidak perlu menawarkan skema pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik sebagai daya tarik bagi swasta. Ia menyebut bahwa dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, target tambahan pembangkit EBT sudah mencapai 20,9 gigawatt (GW), dengan porsi swasta yang sudah cukup besar, yakni 56,3% atau sekitar 11,8 GW.
"Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menolak implementasi skema power wheeling yang berisiko merugikan negara. Kementerian Keuangan sangat memahami kondisi keuangan negara yang akan dihadapi di masa mendatang," kata Abra.
Baca Juga: Dampak Kebijakan Power Wheeling dari Perspektif Legal, Transisi Energi, Ketahanan Energi dan Ekonomi
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah telah memberikan banyak kesempatan bagi swasta untuk memperluas bauran energi baru terbarukan melalui RUPTL yang sudah disepakati bersama.
Abra mengingatkan agar pemerintah tetap waspada dalam pembahasan RUU EBET, khususnya terhadap pasal-pasal yang mengatur skema power wheeling. "Risiko terbesarnya adalah membebani keuangan negara yang bisa berdampak langsung terhadap pembangunan dan masyarakat kecil,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri