Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ketua APKASINDO: Program Biodiesel Bukan Ancaman, Melainkan Peluang untuk Petani Sawit

        Ketua APKASINDO: Program Biodiesel Bukan Ancaman, Melainkan Peluang untuk Petani Sawit Kredit Foto: Uswah Hasanah
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pungutan dana sawit diklaim tidak berdampak secara signifikan kepada kesejahteraan petani sawit seluruh Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman, menegaskan bahwa program biodiesel sangat penting untuk keberlanjutan industri sawit dan menjaga stabilisasi harga sawit dalam negeri.

        Sebelum pemerintah menggencarkan program mandatory biodiesel, minyak sawit Indonesia sangat bergantung pada pasar ekspor. Akibatnya, pergerakan harga sangat dominan ditentukan oleh pasar luar negeri.

        Baca Juga: Masih Jarang, Kemenperin Dorong Komersialisasi Riset Sawit Untuk Kembangkan Potensi

        Maka dari itu, pemerintah meluncurkan mandatory biodiesel. Kendati demikian, Eddy mengakui bahwa program tersebut membutuhkan dana yang relatif besar. Yang tergambar dari alokasi pemanfaatan dana pungutan dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh BPDPKS, dana itu berasal dari pungutan atas setiap ekspor minyak sawit dan turunannya. 

        Hal itu pulalah yang kemudian memunculkan stigma bahwa BPDPKS lebih pro kepada pengusaha-pengusaha sawit yang khususnya bergerak di badan penyediaan atau pemanfaatan program biodiesel.

        Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung, Menyebut bahwa ada banyak kekeliruan terkait informasi yang tidak benar perihal pemanfaatan dana sawit untuk biodiesel. Petani sawit, ungkapnya, menyampaikan bahwa jangan sampai terpengaruh tentang pemanfaatan dana sawit yang simpang siur.

        Gulat mengungkapkan bahwa ada banyak manfaat dari biodiesel yang secara langsung dirasakan oleh para petani sawit. Salah satunya adalah serapan domestik yang mengakibatkan terjaganya stok minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dunia. Sehingga, harga tandan buah kosong (TBS) sawit pun meningkat.

        “Program B40 nanti paling tidak akan menyerap sebanyak 17 juta ton CPO. Serapan domestik untuk biodiesel ini akan mengakibatkan terjaganya stok CPO dunia yang efeknya jika harga CPO naik, maka akan terdongkrak pula itu harga TBS petani sawit,” kata Gulat dalam keterangannya, Sabtu (5/10/2024).

        Baca Juga: Sukses Jadi Role Model Hilirisasi Industri, Kemenperin Dukung Riset Sawit

        Keuntungan kedua adalah pemanfaatan CPO untuk biodiesel akan menghemat devisa negara. Berdasarkan laporan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, pemanfaatan CPO untuk biodiesel telah menghemat sebesar 400 juta kiloliter solar karena bisa digantikan dengan pemanfaatan biodiesel sebesar 54,52 juta ton.

        “Artinya apa? Kita tidak perlu mengeluarkan devisa untuk mendatangkan CPO tadi. Itu baru dari CPO nya. Sementara dari segi multiland adalah meningkatnya tenaga kerja di Indonesia dengan adanya aktivitas proses perubahan dari CPO ke biodiesel,” ungkapnya.

        Gulat juga menegaskan bahwa biodiesel merupakan energi hijau yang telah berkontribusi besar dalam meminimalisir penggunaan minyak fosil. Hal tersebut dinilai merupakan kemajuan yang luar biasa bagi dunia, bukan hanya Indonesia saja.

        Baca Juga: Selamat! 3 Kampus Ternama Ini Borong Juara Lomba Riset Sawit di PERISAI 2024

        Dirinya juga merespon terkait adanya ungkapan yang mengatakan bahwa pemanfaatan biodiesel hanya menguntungkan korporasi saja. Gulat meluruskan bahwa biodiesel itu berasal dari CPO yang dimanfaatkan dari pabrikan dengan berbagai proses pengolahan sehingga sampai ke tangan konsumen.

        “Mereka akan mengolah setelah itu dihitunglah ongkos olah dan berapa biaya transportasi sampai ke pertamina untuk pencampuran. Nah yang dihitung itu ‘kan ongkos olah, tidak mungkin itu tidak dibayar. Mengolah dari CPO jadi biodiesel, memindahkan biodiesel dari pabrik ke pertamina, itu butuh ongkos sehingga ongkos tadi yang dihitung,” jelasnya.

        Jadi, sambungnya, apabila dikatakan akan menguntungkan korporasi melalui insentif dari dana sawit, hal itu sama sekali tidak benar. Pasalnya, yang dibayarkan itu adalah harga CPO ditambah dengan ongkos olah, ditambah dengan uang transport dari pabrik biodiesel ke pertamina, untuk kemudian dicampur menjadi biodiesel.

        Selanjutnya, biodiesel dihitung berdasarkan harga solar. Selisih antara harga solar dan harga biodiesel tadi yang akan dibayar oleh BPDPKS dari dana sawit. Pemanfaatan biodiesel menjadi solar yang dipakai oleh masyarakat tidak lebih mahal dibandingkan dengan solar murni sehingga manfaatnya bisa diterima oleh masyarakat maupun petani sawit itu sendiri.

        Terakhir, dia menyebut bahwa biodiesel harus dipandang sebagai peluang. Bukan ancaman. Hal ini dikarenakan berbagai manfaat yang dinikmati baik dari korporasi, petani sawit, maupun masyarakat itu sendiri.

        Baca Juga: Pekan Riset Sawit 2024: Upaya Pemerintah Mendorong Inovasi Berkelanjutan

        “Program biodiesel adalah peluang. Bukan ancaman, jangan dibolak-baik. peluang itu harus kita tangkap, kita rangkul, dan kita raih, untuk meningkatkan kesejahteraan petani sawit. Mari kita sama-sama fokus untuk membaca dan menerima informasi yang benar,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Uswah Hasanah
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: