Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) yang tidak dilibatkan dalam penyusunan pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam PP No 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) mengenai Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, termasuk penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas dan merek, mengingatkan agar aturan ini dapat dibahas bersama pemangku kepentingan terdampak, termasuk tenaga kerja.
Hal ini dikarenakan potensi dampak dari pemberlakuan regulasi ini dapat mendorong pemutusan hubungan kerja dan membuat situasi tidak kondusif dalam mewujudkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 8% yang dikedepankan sebagai visi misi oleh Bapak Presiden Prabowo.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, Kemnaker mengusulkan agar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai inisiator regulasi agar melibatkan dan mengakomodir masukan dari elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan.
"Kami belum pernah dilibatkan dalam penyusunan R-Permenkes. Kami dikritik kurang public hearing, tidak meaningfull participation. Mari, sama-sama kita bahas, kami siap diundang dalam rapat. Kami, Kemnaker sangat concern dengan aturan ini, kami lintas Kementerian/Lembaga memang seyogyanya tidak boleh gaduh. Sesama regulator harus bekerjasama, berkolaborasi. Dan kami melihat dampak dari PP Kesehatan dan R-Permenkes berpotensi menambah beban PHK yang saat ini jumlahnya: 63.947 orang. Kalau aturan ini dibuat terlalu kencang, mohon maaf, ini akan menambah beban 2,2 juta tenaga kerja ter-PHK," Indah menjelaskan dalam Diskusi Serap Aspirasi Mata Rantai IHT yang diinisiasi oleh DPR RI, kemarin
Beban angka pengangguran tersebut kata Indah, bukan hanya pekerja industri rokok serta olahan, namun juga meliputi tenaga kerja industri kreatif.
"Dari total sekitar 6 juta tenaga kerja IHT, jangan dilupakan, ada 725.000 pekerja kreatif yang merupakan bagian dari industri pendukung. Nah, dengan adanya penyeragaman rokok polos tanpa merek dan industri, 725.000 tenaga kerja kreatif ini akan terdampak pula. Ketika mereka terPHK, anak-anak muda kreatif ini menghadapi tantangan besar seperti judi online dan narkotika. Ketika kreativitas mereka tidak tersalurkan, sementara kita belum memiliki program yang bisa menangani mereka secara instan. Tolong ini diperhatikan dan dipertimbangkan," ujarnya Indah.
Dengan tidak ada keberpihakan dalam R-Permenkes Tembakau tersebut, Indah juga mengingatkan bahwa 89% tenaga kerja di sektor pertembakauan merupakan banyak perempuan yang menghidupi keluarganya dan akan menjadi korban.
"Mereka menghidupi ekonomi keluarga, yang merupakan rumah tangga rentan. Di sini negara perlu hadir untuk melindungi mereka agar jangan semakin terpuruk. Jangan sampai dampak sosio-ekonomi dari aturan ini lebih buruk," sebutnya.
Salah satu elemen yang akan menanggung dampak R-permenkes penyeragaman kemasan tanpa identitas merk yaitu petani tembakau turut angkat bicara pada saat dialog berlangsung.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Perwakilan Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPC APTI) Bondowoso , Muhammad Yazid, menegaskan bahwa 2,5 juta petani tembakau yang tersebar di 15 propinsi menggantungkan hidupnya pada komoditas tembakau. Sebagai gambaran, di Kabupaten Bondowoso, dari total 23 kecamatan, masyarakat di 22 kecamatan mengandalkan penghidupannya dengan menanam tembakau.
"Ada 5.000 petani tembakau, dengan luas lahan 10.000 hektar. Hasil dari tembakau ini, tiga kali lipat dari tanaman palawija. Inilah potret pertembakauan di daerah-daerah sentra lainnya di Indonesia. PP Kesehatan dan R-Permenkes Ini adalah hantaman dan pukulan bagi petani. Kami menolak keras adanya aturan ini, kami mohon ditinjau ulang dan dihentikan pembahasannya," tegas Yazid.
Yazid mengatakan, petani yang disebut-sebut oleh Anggota DPR sebagai soko guru pembangunan juga memohon agar keberadaannya dipertimbangkan oleh Kemenkes saat penyusunan aturan dilakukan.
"Kami berupaya terus bertahan sejak Covid-19. Belum pulih seluruhnya, sekarang dihantam dengan R-Permenkes yang akan memukul kami. Tolong diperhatikan nasib kami petani. Kalau di hilir sudah ditekan, hulu juga terkena imbas, diperlakukan tidak adil, mau dibawa ke mana IHT ini?" ucap Yazid
Baca Juga: GAPPRI Khawatirkan Dampak Kenaikan Harga Jual Eceran Rokok Terhadap Pekerja di Industri Tembakau
Pembuatan Aturan Harus Mengedepankan Inklusi
Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menekankan agar pemerintah dalam penyusunan R-Permenkes tidak mengedepankan ego sektoral. Melainkan harus bersama-sama menghasilkan solusi bagi negeri. Khususnya terkait dorongan penyeragaman kemasan rokok tanpa merek dan industri, Willy menyebutkan aturan ini melahirkan praktik rokok ilegal.
"Kalau Kemenkes ini masih keras kepala, celaka kita semua," lanjutnya.
Ia juga menekankan, tidak adil membandingkan industri hasil tembakau (IHT) dengan kesehatan.
"Ingat, kontribusi cukai yang disumbangkan Rp 213 triliun, sementara industri farmasi, kita hanya konsumen. Kita hanya pasar, konsumer semata-mata. Mau jadi apa negeri ini? Kita harus belajar dari Sritex, sudah banyak pengangguran. Terus kita mau buat peraturan semena-mena? Ojo, Pak..jangan," tambah Willy.
Sementara Kementerian Kesehatan dr. Sundoyo, staf ahli Menteri Kesehatan, berjanji akan melibatkan Kementerian terkait dalam pembahasan R-Permenkes pengendalian tembakau dan rokok elektronik tersebut.
“Kemenkes dalam menyusun kebijakan itu pasti menyerap aspirasi pemangku kepentingan. Termasuk salah satunya melalui proses public hearing. Dan, dalam menyusun R-Permenkes ini kan tidak akan keluar dari tata cara perundangan, partisipasi masyarakat harus dikedepankan, sebab ada dua kepentingan yang harus dicari titik tengahnya. Yang satu sisi ekonomi, satu lagi kesehatan,” pungkas Sundoyo.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Mochamad Ali Topan
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: