Sekretaris Jenderal Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC), Rizal Affandi Lukman, mengatakan bahwa pihaknya mendorong keterlibatan aktif generasi muda, khususnya akademisi serta mahasiswa negara CPOPC, untuk turut menangkal berbagai isu negatif dalam industri sawit.
Rizal menyebut jika dalam upaya menangkal isu negatif terhadap minyak sawit, pihaknya melakukan beberapa langkah seperti menjalin keterlibatan aktif dan dialog kuat antara mahasiswa dan akademisi lembaga pendidikan tinggi baik dari Indonesia maupun Malaysia yang berfokus pada isu-isu di sektor sawit.
Dirinya pun berharap adanya dialog tersebut menghasilkan pandangan serta data ahli tentang kontaminan pangan yang terkandung dalam minyak kelapa sawit. Di sisi lain, dialog tersebut juga bisa mempererat hubungan akademisi dan mahasiswa dengan pihak pemangku kepentingan di sektor sawit.
“(Serta bisa) memberikan bukti ilmiah tentang kontaminan dalam minyak kelapa sawit kepada masyarakat umum,” jelas Rizal seminar ‘Engagement With Academicians and Student Leaders from Higher Institutions of Learning, Indonesia and Malaysia 2024, yang diselenggarakan di IPB International Convention Center Bogor, Senin, (2/12/2024).
Baca Juga: CPOPC Ministerial Meeting ke-12 Perkuat Kerja Sama dan Promosi Keberlanjutan Industri Sawit
Sebagai informasi, tantangan baru industri sawit di pasar Uni Eropa salah satunya adalah isu kontaminan monochlorpro-pandiol ester atau dikenal 3-MCPD Ester dan glycidol esters (GE). Akibatnya, hal tersebut dapat menghambat penggunaan minyak sawit di industri pangan.
Dalam kesempatan yang sama, pakar dari Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB), Azmil Haizan Ahmad Tarmizi menuturkan bahwa harus ada langkah yang diambil terkait dengan isu kontaminasi dalam minyak sawit.
Adapun kontaminasi yang dimaksud meliputi 3-MCPDE, Glycidyl Esters (GE), dan minyak mineral seperti mineral Oil Jenuh Hydrocarbons (MOSH) dan Mineral Oil Aromatic Hydrocarbons (MOAH).
“Meskipun tidak semua kontaminan menimbulkan risiko kesehatan, dan beberapa tidak berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah yang diatur, tetap penting untuk meminimalkan paparan guna memastikan minyak kelapa sawit aman untuk dikonsumsi,” kata Azmil.
Sementara itu terkait dengan biodiesel, menurut akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Tatang Hernas Soerawidjaja, Indonesia sebenarnya sudah memiliki teknologi yang mumpuni untuk memproduksi B40 dan B50. Teknologi saat ini dinilai sudah cukup maju sehingga tidak perlu dikhawatirkan lagi.
Baca Juga: CPOPC Dorong Anak Muda Jadi Duta Sawit Lewat YEAs
Menurut Tatang, keputusan menerapkan B40 dan B50 berdasarkan pada lebih banyaknya aspek finansial dibandingkan dengan aspek teknologi. Pasalnya, biodiesel dianggap masih lebih mahal dibandingkan dengan solar fosil.
"Serapan B50 B50 diperkirakan akan mengonsumsi 18 juta metrik ton minyak sawit mentah, naik dari perkiraan 11 juta metrik ton yang digunakan untuk B35 tahun ini," ungkapnya.
Untuk diketahui, minyak sawit Indonesia tercatat tumbuh rata-rata 7,6% per tahunnya sejak tahun 2019 lalu.
Kemudian pada periode yang sama, produksi tercatat meningkat kurang dari 1% per tahun di Indonesia yang merupakan produsen sekaligus eksportir minyak sawit terbesar di dunia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: