- Home
- /
- Kabar Sawit
- /
- Hot Issue
CPOPC Dorong Diplomasi Kolektif Hadapi EUDR, Industri Sawit Diminta Libatkan Petani
Kredit Foto: Abdul Aziz
Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) mendorong langkah diplomasi kolektif Indonesia dan Malaysia untuk menghadapi penerapan European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Regulasi tersebut dinilai berpotensi menyingkirkan petani kecil dari rantai pasok global jika tidak diantisipasi melalui kebijakan bersama dan sistem ketelusuran yang inklusif.
Wakil Sekjen CPOPC Musdhalifah Machmud menjelaskan, EUDR yang semula akan berlaku pada 1 Januari 2026 telah ditunda menjadi 1 Januari 2027, memberi waktu satu tahun bagi negara produsen memperkuat kesiapan nasional.
Baca Juga: Kebutuhan CPO Melonjak, DMO Jadi Opsi Jamin Pasokan untuk Program B50
Menurutnya, penundaan ini merupakan momentum penting bagi Indonesia untuk mempercepat transformasi data lahan, sistem geolokasi, dan sertifikasi nasional agar produk sawit tetap bisa diterima di pasar Eropa.
“Penundaan ini adalah waktu emas bagi kita. Dalam setahun ke depan, kita harus memastikan sistem ketelusuran dan legalitas lahan petani kecil benar-benar siap. Kalau tidak, mereka bisa tereliminasi dari rantai pasok,” ujar Musdhalifah dalam diskusi publik INDEF bertema Memperkuat Daya Saing Petani Kecil dalam Kerangka EUDR untuk Sawit Berkelanjutan, dikutip Rabu (15/10/2025).
CPOPC, yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, Honduras, Papua Nugini, dan Kongo, mewakili lebih dari 80% produksi sawit dunia. Organisasi ini menjadi wadah strategis untuk memperjuangkan kepentingan negara produsen di tengah tekanan regulasi dan persepsi negatif terhadap sawit di pasar global.
Menurut Musdhalifah, Indonesia dan Malaysia telah membentuk joint task force dengan Uni Eropa untuk membahas lima isu utama, yaitu inklusivitas petani kecil, traceability system, country benchmarking, sertifikasi nasional (ISPO/MSPO), serta perlindungan data pribadi.
Melalui diplomasi kolektif ini, Indonesia diharapkan dapat mengimbangi ketentuan EUDR dengan pendekatan berbasis bukti ilmiah dan keberlanjutan sosial.
“Negara produsen harus bersatu menghadapi regulasi yang berpotensi tidak adil. Tanpa pendekatan bersama, yang paling terdampak justru petani kecil yang belum memiliki kapasitas teknis dan legalitas lahan yang lengkap,” ujarnya.
Musdhalifah juga mengungkapkan, dari sekitar 2,7 juta petani kecil sawit di Indonesia, baru sebagian kecil yang sudah terintegrasi dalam sistem pelacakan (traceability) industri besar.
Beberapa perusahaan besar telah memulai inisiatif pelacakan rantai pasok dan menggandeng sekitar 70 ribu petani kecil, namun jumlah itu masih jauh dari cukup.
“Baru sebagian kecil industri yang aktif membantu petani membangun sistem traceability dari kebun ke pabrik, padahal ketelusuran ini akan menjadi syarat utama di pasar global,” katanya.
Kesenjangan ini, lanjutnya, menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan asosiasi seperti Apkasindo untuk memperluas pendampingan, pembiayaan, dan pendataan lahan.
Baca Juga: Produksi CPO PGUN Naik, Perseroan Siapkan Strategi Replanting hingga 2026
Jika tidak segera dilakukan, sebagian besar petani kecil berisiko tertinggal dari rantai pasok ekspor.
Untuk memperkuat daya saing nasional, Musdhalifah menegaskan perlunya sinergi antara Kementerian Pertanian, BPDPKS, pemerintah daerah, dan industri sawit dalam mendanai serta mempercepat pemetaan lahan dan digitalisasi data petani.
Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) juga terus diperjuangkan agar dapat diakui secara internasional sebagai dasar pemenuhan standar keberlanjutan.
“Negara produsen sudah punya sertifikasi nasional, tapi kita perlu dorong agar ISPO diakui sebagai standar global. Dengan begitu, biaya kepatuhan akan berkurang dan posisi ekspor kita lebih kompetitif,” tegasnya
Dengan tambahan waktu satu tahun sebelum penerapan EUDR, Indonesia diharapkan dapat mempercepat seluruh tahapan persiapan, mulai dari pendataan geolokasi, digitalisasi sistem traceability, hingga pendampingan petani kecil.
Langkah ini dinilai penting untuk memastikan komoditas unggulan senilai lebih dari USD 25 miliar per tahun tetap memiliki akses ke pasar utama dunia.
Baca Juga: Mengenal Tiga Kelompok Produk Perkebunan Kelapa Sawit
Baca Juga: BPDP Gelar Kuliah Umum Serentak di Enam Kampus Sumatera Utara
“Kalau kita tidak memanfaatkan waktu ini, yang akan tertinggal adalah petani kecil. Industri bisa menyesuaikan, tapi petani kecil akan kesulitan jika tidak dibantu secara sistemik,” tutup Musdhalifah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement