Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Percepat Transisi Energi Nasional dan Energi Terbarukan, Pakar: Perlu Skema Subsidi Bunga dalam KUR

        Percepat Transisi Energi Nasional dan Energi Terbarukan, Pakar: Perlu Skema Subsidi Bunga dalam KUR Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksekutif sekaligus peneliti Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa perbankan bisa menerapkan skema subdisi bunga dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Hal ini dilakukan dalam konteks pendanaan energi terbarukan skala komunitas guna mempercepat transisi energi nasional.

        "Perbankan nasional seharusnya memberikan subsidi bunga untuk penyaluran kredit energi terbarukan skala komunitas, seperti skema Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan memperbesar porsi pembiayaan berkelanjutan (sustainability link loan),” kata Bhima dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (6/12/2024).

        Seiring dengan hal tersebut, dirinya menilai jika perbankan wajib membatasi pembiayaan energi fosil. Terlebih lagi, saat ini investasi pembangkit listrik energi terbarukan dianggap sudah kian kompetitif. Adapun investasi pembangkit listrik tenaga surya diperkirakan hanya senilai 410 dolar AS per kilowatt (kW) dibandingkan dengan PLTU ultra supercritical US$ 1.430/kW pada tahun 2050.

        Baca Juga: Medco Energi Tawarkan Obligasi Rp2,5 Triliun, Bagian dari Target Rp5 Triliun

        Mengutip visi Presiden Prabowo Subianto, ucap Bhima, dalam 15 tahun ke depan PLTU bakal ditutup sehingga perbankan perlu membatasi pembiayaan ke energi fosil. 

        Di sisi lain, dalam sesi ketiga KTT G20 di Brazil pada 20 November 2024 lalu, Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara serta pembangkit listrik tenaga fosil dalam rentang waktu 15 tahun ke depan. Prabowo juga mencanangkan dalam 15 tahun ke depan Indonesia bisa membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan.

        Dalam keterangan yang sama, Wicaksono Gitawan selaku Just Energy Transition Associate dari Lembaga Cerah mengungkapkan bahwa harus ada langkah konkrit seiring dengan meningkatkan pemberitaan perbankan domestik tentang komitmen pembiayaan hijau yang kini semakin tinggi juga.

        "Apalagi, Presiden Prabowo sudah mengungkapkan keinginannya untuk segera menghentikan penggunaan PLTU batu bara di 2040," kata Wicak.

        Baca Juga: Meski Transisi Energi, Bahlil Tetap Dorong RI Produksi Batu Bara Secara Masif

        Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berperan sebagai regulator juga harus memiliki peran penting dalam mendorong transisi energi di Indonesia.

        Menanggapi hal tersebut, Linda Rosalina selaku Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menjelaskan bahwa Taksonomi untuk Berkelanjutan Indonesia (TKBI) yang dikeluarkan oleh OJK perlu lebih kuat lagi dalam mendefinisikan berbagai kegiatan apa saja yang termasuk ke dalam kategori hijau.

        “Hilangnya klasifikasi merah yang ada dalam Taksonomi Hijau Indonesia (THI) di TKBI menjadi hijau dan transisi menyiratkan bahwa kegiatan yang masuk dalam kategori transisi akan mengalami perbaikan, padahal tidak selalu seperti itu. Apalagi, klasifikasi hijau hanya mengacu pada sertifikasi, seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dalam kasus sawit,” sebut Linda.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Uswah Hasanah
        Editor: Amry Nur Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: