Guru Besar Sahid: Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kesehatan Tidak Boleh Bertentangan dengan UU
Kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui usulan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) dinilai melawan hierarki peraturan perundang-undangan. Aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 ini disinyalir akan bertabrakan dengan Undang-Undang (UU), yang kedudukannya lebih tinggi secara hukum.
Guru Besar Universitas Sahid Jakarta, Prof. Dr. Ir. Kholil, M.Kom, menjelaskan urutan perundang-undangan telah jelas menetapkan kedudukan yang lebih tinggi, yaitu dimulai dari Undang-Undang Dasar (UUD), UU, kemudian PP, dan selanjutnya. Namun, ia melihat Rancangan Permenkes seakan ingin melangkahi hierarki aturan hukum dengan menabrak aturan yang lebih tinggi. "Mestinya peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi," ujarnya.
Prof. Kholil menilai ada dua kebijakan pada Rancangan Permenkes yang berpotensi menabrak beberapa aturan yang lebih tinggi. Salah satunya adalah rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang berseberangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. UU tersebut menyatakan bahwa merek dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna untuk membedakan.
Baca Juga: Komitmen Kemenkes Libatkan Seluruh Pihak dalam Rancangan Permenkes
Selain itu, Rancangan Permenkes dan PP 28/2024 juga bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi dengan jelas dan detail seputar produk yang dibeli dan dikonsumsi. "Artinya, hak konsumen untuk mendapatkan info produk secara jujur, benar, dan lengkap tidak bisa diperoleh jika Rancangan Permenkes diterapkan," imbuhnya.
Oleh karena itu, Prof. Kholil meminta agar Rancangan Permenkes untuk melakukan sinkronisasi dengan aturan-aturan yang lebih tinggi hierarkinya. Ia menilai harmonisasi peraturan sebagai hal yang penting, mengingat Presiden Prabowo Subianto telah mendesak agar mengkaji ulang semua aturan perundang-undangan agar harmonis dan sinkron sebagai langkah menuju Indonesia Emas 2045. Tapi, upaya Kemenkes melalui PP 28/2024 serta Rancangan Permenkes justru bertolak belakang dengan arahan Presiden Prabowo.
Prof. Kholil melanjutkan bahwa kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sangat merugikan bagi konsumen. Masyarakat tidak akan bisa membedakan satu produk dengan produk lain sehingga bisa menyamarkan antara produk legal dan ilegal. Seharusnya, konsumen mendapatkan informasi dengan jelas dan detail seputar produk yang dibeli sesuai hak yang sudah dilindungi oleh UU.
"Ini perlindungan hukumnya jadi lemah. Dan terakhir tentu akan muncul produk ilegal yang banyak karena sama semua mereknya," tambahnya.
Hilangnya identitas merek pada kemasan rokok akan membuat produk rokok ilegal justru mendapatkan keuntungan. Menurutnya, kemasan rokok yang seragam dapat menyulitkan identifikasi penyebaran rokok ilegal. Penjualannya pun tidak bisa dikendalikan karena rokok ilegal tidak teregulasi, sehingga membuat masalah peredaran rokok ilegal semakin tinggi.
"(Aturan ini akan) memunculkan produk ilegal dan nanti akan rugi juga konsumen atau pembelinya, karena tidak bisa membedakan mana produk legal dan ilegal,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: