Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kontribusi Ekonomi Syariah untuk Pertumbuhan Ekonomi 8%

        Kontribusi Ekonomi Syariah untuk Pertumbuhan Ekonomi 8% Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menggelar Diskusi Publik bertajuk “Outlook Ekonomi Syariah 2025: Kontribusi Ekonomi Syariah untuk Pertumbuhan Ekonomi 8%” pada 27 Desember 2024. 

        Diskusi tersebut membahas peran dan potensi ekonomi syariah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju target 8%. Seperti yang diketahui, Pemerintah Indonesia memang berharap dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 8% pada 2027 atau 2028.

        Diskusi dipandu oleh pemantik diskusi Prof. Didik J. Rachbini dan menghadirkan sejumlah pembicara ahli, seperti Prof. Nur Hidayah, Dr. Handi Risza, Prof. Murniati Mukhlisin, Dr. Hakam Naja, dan Dr. Rahmat Mulyana, yang semuanya berasal dari CSED INDEF. 

        Dimoderatori oleh Muhammad Alfatih Murod, acara ini menggali strategi, regulasi, serta inovasi yang dapat mempercepat perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, serta bagaimana sektor ini dapat berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian nasional di masa depan.

        Dibuka oleh Prof. Didik J. Rachbini, dalam pemaparannya, ia menekankan pentingnya stimulasi agar ekonomi syariah Indonesia dapat berkembang sejajar dengan negara-negara Muslim lainnya. 

        Prof. Didik juga menyoroti bahwa untuk mencapai perkembangan yang signifikan dalam industri ini, Indonesia perlu mengumpulkan ilmuwan dan praktisi dalam bidang ekonomi syariah (eksyar), mengingat setiap pengembangan industri baru memerlukan kontribusi khususnya dalam hal ekonomi syariah. Dalam jangka panjang, Prof. Didik optimis bahwa Indonesia dapat menjadi salah satu dari lima negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2045.

        Baca Juga: OJK Sudah Cabut 20 Izin Usaha BPR dan BPR Syariah Hingga Desember 2024

        Secara lebih dalam, Abdul Hakam Naja membahas soal potensi perbankan syariah 2025. Ia memberikan gambaran tentang tantangan dan peluang ekonomi global serta peran penting ekonomi syariah dalam pembangunan ekonomi Indonesia. 

        Dalam konteks global, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan melambat, dari 3,5% pada 2022 menjadi 3,3% pada 2023, akibat kebijakan bank sentral yang fokus menurunkan inflasi. Meskipun tingkat pengangguran global menurun, Indonesia justru mencatat kenaikan, yang menjadi perhatian. 

        Inflasi global juga mengalami penurunan signifikan, dengan proyeksi mencapai 5,9% pada 2024. Namun, tantangan geopolitik, seperti konflik Rusia-Ukraina dan perang di Gaza, tetap memengaruhi prospek ekonomi global.

        Di tengah dinamika global ini, ekonomi syariah memiliki peluang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan populasi Muslim yang sangat besar, potensi ekonomi syariah di Indonesia belum sepenuhnya dioptimalkan. Perbankan syariah, khususnya, menunjukkan pertumbuhan positif, meskipun total asetnya masih jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia. Pada 2024, total aset perbankan syariah di Indonesia mencapai Rp918,935 triliun, jauh di bawah Malaysia dengan Rp4.226,81 triliun. Namun, rasio pembiayaan UMKM dalam perbankan syariah Indonesia lebih tinggi (17,7%) dibandingkan Malaysia (15%).

        Pemberdayaan UMKM menjadi fokus utama, mengingat UMKM menyumbang 60,51% dari PDB dan menyerap 97% tenaga kerja nasional. Hingga September 2024, pembiayaan syariah untuk UMKM hanya mencapai 17,7%, sehingga perlu ditingkatkan menjadi 30% pada 2025. Selain itu, Indonesia memiliki potensi besar dalam industri halal, dengan enam indikator utama seperti keuangan syariah, makanan halal, dan pariwisata ramah Muslim. Namun, skor Indonesia masih jauh di bawah Malaysia, yang memimpin dalam Global Islamic Economy Indicator Report (SGIER).

        Transformasi perbankan syariah juga terus dilakukan melalui merger, spin-off, dan konversi Bank Pembangunan Daerah menjadi Bank Umum Syariah, seperti Bank Aceh, Bank NTB, dan Bank Riau Kepri. Prospek digitalisasi perbankan syariah menjadi sangat penting untuk menjangkau generasi muda, dengan tetap memperhatikan keamanan digital. Selain itu, pembangunan ekosistem ekonomi syariah yang terintegrasi dengan industri halal diharapkan menjadi kunci keberlanjutan pembangunan nasional.

        Di sisi lain, implementasi ekonomi hijau melalui prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) sejalan dengan maqashid syariah dan menjadi kekuatan ekonomi syariah. Namun, tantangan domestik seperti kenaikan PPN menjadi 12% diperkirakan dapat memicu inflasi dan menekan daya beli masyarakat.

        Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8% pada 2028, ekonomi syariah harus dioptimalkan, termasuk melalui hilirisasi sumber daya alam dan pengembangan sektor manufaktur. Salah satu inisiatif strategis adalah pendirian Bank Emas (Bullion Bank) sebagai langkah maju dalam memanfaatkan potensi besar ekonomi syariah di Indonesia.

        Baca Juga: PERURI Tawarkan Solusi Digital dalam Musyawarah Nasional dan BPR Syariah Summit 2024

        Sementara itu, Murniati Mukhlisin menyoroti dinamika ekonomi global dan nasional serta peran penting ekonomi syariah dalam menghadapi tantangan di tahun mendatang. 

        Tahun 2025 diproyeksikan sebagai tahun dengan pertumbuhan ekonomi yang moderat, di mana pertumbuhan PDB Amerika Serikat hanya mencapai 2,0%, Zona Euro sebesar 0,9%, dan Tiongkok sebesar 4,2%, yang jauh di bawah rata-rata historis. Selain itu, inflasi diperkirakan tetap bertahan akibat belanja fiskal yang lebih tinggi dan potensi kenaikan tarif pajak.

        Bagi Indonesia, outlook ekonomi tahun 2025 menunjukkan pertumbuhan PDB yang stabil di kisaran 5,0%-5,3%, dengan inflasi sebesar 3,5%-4,0% dan kebijakan moneter di angka 5,5%-6,0%. Tingkat pengangguran diproyeksikan tetap stabil di sekitar 5%, didukung oleh penciptaan lapangan kerja baru di sektor industri, e-commerce, dan energi terbarukan. Pada 2024, sektor pertambangan mendominasi pertumbuhan PDB, sementara sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan negatif. Rekomendasi syariah menyoroti pentingnya meningkatkan ekspor sektor pertanian, sejalan dengan tren global menuju pertanian berkelanjutan.

        Dalam aspek sosial, indeks kebahagiaan Indonesia menunjukkan bahwa kelompok usia 25-40 tahun adalah yang paling bahagia, sementara usia 60 tahun ke atas adalah yang paling tidak bahagia. Berdasarkan status perkawinan, mereka yang menikah cenderung lebih bahagia dibandingkan yang bercerai, di mana perceraian banyak disebabkan oleh masalah ekonomi, termasuk dampak judi online dan pinjaman online.

        Pada sektor perbankan, perbankan syariah telah mencapai sekitar 6,7% dari total aset perbankan Indonesia pada akhir 2024, dengan pertumbuhan aset yang stabil pada CAGR sebesar 12%-15% dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia juga menjadi pemimpin global dalam penerbitan sukuk, yang dimanfaatkan untuk pembiayaan infrastruktur dan proyek ramah lingkungan. Untuk memperkuat ekosistem keuangan syariah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencanangkan berbagai kebijakan, seperti kewajiban spin-off unit syariah oleh bank konvensional, pengembangan peta jalan nasional keuangan syariah, dan pemberian insentif pajak untuk penerbitan sukuk serta investasi berbasis syariah.

        Namun, tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih menjadi tantangan. Berdasarkan SNLIK 2024, indeks literasi keuangan syariah hanya sebesar 39,11%, jauh lebih rendah dibandingkan literasi keuangan konvensional sebesar 65,08%. Sementara itu, indeks inklusi keuangan syariah hanya mencapai 12,88%, jauh di bawah inklusi keuangan konvensional sebesar 73,55%. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan pendapatan serta menerapkan solusi berbasis syariah. Pendekatan syariah diyakini dapat mengatasi faktor penyebab perceraian, seperti riba, gharar, maysir, dharar, zhalim, dan unsur haram lainnya.

        Dengan mengoptimalkan instrumen ekonomi syariah, seperti peningkatan literasi dan inklusi keuangan, dukungan pada sektor pertanian dan UMKM, serta penguatan peran sukuk, ekonomi syariah diharapkan dapat menjadi salah satu pilar utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

        Handi Risza menekankan pentingnya peran ekonomi syariah dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan akan mencapai 8% pada tahun 2025. Ia menyebutkan bahwa perkembangan ekonomi syariah selalu berjalan seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, Indonesia perlu menggali sumber-sumber pertumbuhan baru, salah satunya melalui ekonomi dan keuangan syariah.

        Upaya ini melibatkan peningkatan sisi produksi dengan meningkatkan produktivitas pertanian, hilirisasi sektor prioritas, serta pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru seperti pariwisata dan peningkatan kualitas SDM. Sementara itu, dari sisi permintaan, perlu dilakukan upaya untuk menjaga konsumsi masyarakat, investasi berkualitas, peningkatan ekspor, serta kebijakan fiskal dan moneter yang pro-growth.

        Handi juga menyoroti bahwa ekonomi syariah sudah menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Beberapa langkah penting untuk memperkuat ekonomi syariah adalah penguatan ekosistem ekonomi syariah dan industri halal, pengembangan sektor keuangan syariah, serta inovasi produk pembiayaan syariah baik untuk sektor publik maupun non-publik. Selain itu, perlu diperhatikan juga penguatan sektor halal, seperti makanan dan minuman halal, fesyen muslim, dan peningkatan literasi serta regulasi yang mendukung ekosistem ini.

        Produk halal Indonesia semakin berkembang pesat, dengan sektor-sektor besar seperti industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan sudah melibatkan industri halal. Meskipun demikian, kontribusi sektor halal ini masih perlu dihitung lebih rinci, mengingat industri halal Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor. Sementara itu, aset keuangan syariah terus berkembang pesat, mencapai Rp 2.742 triliun pada 2024, meskipun market share keuangan syariah masih relatif kecil, yakni hanya 11,41% pada Juni 2024. Selain itu, penyaluran pembiayaan bank syariah untuk UMKM mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir, sementara pembiayaan sektor non-UMKM justru meningkat.

        Baca Juga: Kemendag Rekomendasikan 5 Negara Prioritas Ekspor Produk Halal RI

        Kontribusi ekonomi syariah terhadap PDB Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai 46,72% (sekitar Rp 9.761 triliun), dengan sektor utama yang berkontribusi adalah pertanian, makanan dan minuman halal, serta fesyen muslim. Meskipun demikian, tantangan struktural ekonomi syariah masih ada, seperti permodalan yang terbatas, minimnya kebijakan dan insentif, serta potensi dana sosial yang belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk mengatasi hal ini, Handi memberikan beberapa rekomendasi kebijakan, termasuk menjadikan ekonomi dan keuangan syariah sebagai prioritas dalam RPJMN 2025-2029, mendorong kebijakan merger atau akuisisi bank syariah BUMN, serta memperkuat lembaga pengelola ekosistem ekonomi syariah seperti KNEKS.

        Secara keseluruhan, meskipun industri halal Indonesia menunjukkan perkembangan yang positif, masih banyak aspek yang perlu diperbaiki agar Indonesia bisa menjadi pusat industri halal dunia dan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.

        Dr. Rahmat Mulyana menyoroti beberapa masalah utama dalam pengelolaan anggaran dan distribusi pendapatan di Indonesia. Salah satunya adalah ketidakefisienan dalam pengelolaan anggaran negara yang berdampak pada ketimpangan distribusi pendapatan. Meskipun ada bantuan sosial, hal tersebut tidak efektif mengurangi ketimpangan dan cenderung menjadi konsumtif. Selain itu, keberlanjutan fiskal juga terancam karena beban hutang negara yang terus meningkat, dengan bunga hutang yang mencapai Rp500 triliun. Ia juga menekankan adanya tumpang tindih dalam sistem perpajakan yang kurang berkeadilan, dengan pajak penghasilan yang masih rendah dan rasio pajak yang belum mencapai 10%.

        Dr. Rahmat menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalah suatu keniscayaan dalam pembangunan ekonomi, yang tidak hanya fokus pada angka pertumbuhan yang tinggi, tetapi juga pada pemerataan dan keadilan dalam distribusinya. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif, kebijakan fiskal Islami dapat diterapkan dengan mengintegrasikan zakat dalam sistem perpajakan, penerapan pajak progresif yang lebih adil, serta pengembangan instrumen keuangan syariah seperti sukuk negara dan wakaf produktif. Selain itu, diversifikasi sumber pembiayaan syariah, penguatan pembiayaan untuk UMKM dengan skema berbasis bagi hasil, serta pemanfaatan dana zakat untuk modal kerja dan crowdfunding syariah juga perlu dioptimalkan.

        Dr. Rahmat juga mengusulkan perbaikan dalam distribusi anggaran, dengan alokasi yang lebih fokus pada belanja produktif sektor riil dan berbasis kinerja. Penggunaan teknologi dalam sistem monitoring anggaran dan program pemberdayaan berbasis masjid atau pesantren juga penting untuk meningkatkan efisiensi. Integrasi zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) dalam upaya pengentasan kemiskinan menjadi langkah strategis lainnya. Pelaksanaan kebijakan ini harus didukung oleh pengembangan indikator kinerja berbasis maqashid syariah, audit syariah yang komprehensif, evaluasi dampak secara berkala, serta penguatan koordinasi antar pemangku kepentingan, termasuk organisasi masyarakat Islam.

        Dampak yang diharapkan dari penerapan kebijakan fiskal Islami ini adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dengan target mencapai 8%, penurunan ketimpangan pendapatan, penguatan sektor UMKM, keberlanjutan fiskal, serta meningkatnya inklusi keuangan syariah dan kesejahteraan masyarakat secara umum.

        Nur Hidayah membahas mengenai perkembangan regulasi ekonomi syariah di Indonesia, yang dimulai sejak 1992, dengan tujuan memberikan landasan bagi perbankan syariah, dan berlanjut hingga tercapainya Undang-Undang P2SK pada tahun 2023. Meskipun Indonesia memiliki jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan Malaysia, Indonesia masih tertinggal jauh dalam perkembangan ekonomi syariahnya. Contohnya, pangsa pasar perbankan syariah Indonesia baru mencapai 7,38%, sementara Malaysia sudah mencapai 42%. Faktor utama yang menyebabkan ketertinggalan ini antara lain adalah pengaturan dan pengawasan sektor ekonomi syariah di Malaysia yang terintegrasi dengan baik, adanya potensi tumpang tindih kebijakan di Indonesia, serta kurang efisiennya penyusunan regulasi karena lembaga penyusun fatwa di Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk menyusun regulasi.

        Meskipun demikian, sejak penerapan UU 21/2008, perbankan syariah Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan, dengan aset perbankan syariah tumbuh sebesar 11,21% pada tahun 2023, mencapai Rp892,17 triliun. Namun, meskipun ada peningkatan, pangsa pasar perbankan syariah Indonesia masih relatif kecil dibandingkan negara-negara lain. Begitu pula dengan sektor asuransi syariah, yang hanya tumbuh 1,5% pada tahun 2023, serta sektor lembaga keuangan mikro syariah yang mengalami peningkatan aset sebesar 4,6%.

        Sektor zakat juga mengalami peningkatan signifikan, dengan pengumpulan zakat nasional mencapai Rp33 triliun pada semester I 2023, namun masih jauh dari potensi yang dapat dikelola. Indonesia juga menunjukkan prestasi di sektor halal, seperti makanan halal, fashion muslim, dan farmasi halal, meskipun masih tertinggal dalam sektor pariwisata ramah muslim.

        Baca Juga: Ekspor Produk Halal RI Tembus Rp673,90 Triliun, 4 Sektor Ini Mendominasi

        Dalam kerangka pengembangan ekonomi syariah, Asta Cita mencakup beberapa langkah strategis, seperti penguatan lembaga keuangan syariah, perluasan ekosistem usaha syariah, peningkatan pendidikan dan penelitian di bidang ekonomi syariah, serta optimalisasi dana sosial syariah seperti zakat dan wakaf. Pengembangan sektor ini juga mencakup pembentukan Bank Wakaf, penguatan peran BUMN dan swasta dalam industri syariah, serta pembentukan lembaga hedge fund syariah. Dalam RPJPN 2025-2045, Indonesia berfokus pada pengembangan industri halal, pemberdayaan dana sosial syariah, pengembangan kewirausahaan berbasis syariah, serta integrasi program ekonomi syariah ke dalam rencana kerja kementerian dan lembaga terkait.

        Terakhir, pentingnya Omnibus Law Ekonomi Syariah diharapkan dapat mengatasi kendala struktural yang ada, meningkatkan efisiensi, daya saing, serta kontribusi ekonomi syariah dalam perekonomian nasional, dan mendorong inklusi serta literasi ekonomi syariah di Indonesia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: