IAW Sebut Dugaan 1,3 Miliar Data SIM Bocor jadi Ancaman Digital Terbesar di Dalam Negeri
Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Berdasarkan data Kementerian Komdigi menyebutkan ada sekitar 315 juta SIM card aktif hingga Mei 2025, namun klaim dari peretas Bjorka menyebutkan ada 1,3 miliar data registrasi nomor ponsel yang beredar. Angka ini jauh melebihi jumlah penduduk Indonesia, yang hanya sekitar 280 juta jiwa.
“Artinya, ada ratusan jutaan SIM card aktif yang tak punya logika demografis. Pertanyaannya, siapa yang punya, siapa yang pakai, dan siapa yang mengawasi?” kata Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, Senin (28/7/2025).
Menurutnya, sejak 2010, jumlah nomor ponsel aktif telah melampaui populasi. Pada 2017, Badan Pusat Statistik mencatat angka mencapai 435 juta nomor aktif, padahal jumlah penduduk saat itu belum mencapai 270 juta.
Baca Juga: Transfer Data Masyarakat Jadi Bagian Deal Dagang, Ini Respons Komdigi
“Sejak era ponsel massal 15 tahun lalu, kita hidup dalam situasi aneh, yaitu jumlah nomor aktif tidak pernah mencerminkan jumlah penduduk yang bisa diverifikasi,” ujarnya.
Meski regulasi teknis sudah tersedia, termasuk Permenkominfo No. 12/2016 dan pembaruan melalui Permenkominfo No. 5/2021, celah di lapangan tetap terbuka lebar. Penjualan kartu SIM tetap bisa dilakukan secara daring tanpa verifikasi identitas yang valid, bahkan aturan pembatasan tiga nomor per NIK tidak benar-benar diterapkan.
Fenomena ini telah memicu maraknya penyalahgunaan: transaksi judi online menggunakan nomor fiktif, penipuan OTP, serangan phishing lewat SMS massal, hingga penyebaran hoaks oleh bot politik.
“Kalau negara gagal menutup lubang ini, maka kita bukan hanya bicara soal kerugian finansial, tapi juga ancaman terhadap pemilu, ketertiban umum, dan integritas demokrasi,” tegasnya.
Kritik juga diarahkan pada vendor SIM yang memasok chip ke Indonesia, maupun global yang menyuplai ke operator besar. Namun, belum pernah ada audit terbuka terhadap rantai pasok, enkripsi chip, hingga kecocokan antara kartu yang aktif dengan identitas pengguna sebenarnya.
Selain soal distribusi SIM, IAW juga menyoroti praktik penghangusan kuota oleh operator. Pelanggan kerap hanya menggunakan sebagian dari paket data yang dibeli, sementara sisanya hangus tanpa ada pengembalian nilai atau rollover.
“Hendaknya korporasi provider memiliki moral yang tinggi jika mengetahui posisi konsumennya dirugikan, walau karena regulasi yang belum berlaku adil. Jangan pula malah merasa nyaman bahkan menikmati kondisi 'zona' yang buruk bagi konsumen tersebut,” tegasnya.
Baca Juga: Komdigi Siapkan Infrastruktur Digital untuk Kopdes
Distribusi kartu SIM yang tidak terkendali dan lemahnya pengawasan negara terhadap penggunaannya dinilai menjadi akar dari maraknya kejahatan digital di Indonesia. Indonesian Audit Watch (IAW) menilai, celah dalam sistem tersebut tidak hanya merugikan konsumen, tapi juga mengancam stabilitas demokrasi dan kedaulatan ruang siber nasional.
Akar dari berbagai ancaman digital justru muncul dari dalam negeri, bukan dari luar. Ia menekankan pentingnya negara segera mengambil alih kendali atas aspek paling mendasar dalam dunia digital, yakni kartu SIM.
“Dari saku baju, SIM card bisa menembus sistem keuangan negara, mengguncang pemilu, hingga menyuburkan kejahatan online. Kartu yang ongkos produksinya dikisaran Rp1.100 sampai Rp1.200 itu sungguh cukup merepotkan republik kita,” katanya.
Menurutnya, belum ada audit menyeluruh terhadap validitas nomor aktif, SIM zombie, hingga kerugian akibat kuota hangus. Audit BPK sejauh ini hanya menyentuh laporan keuangan Kementerian Kominfo.
“Padahal, audit inilah yang akan bisa membantu membuka tabir kriminal digital sistemik di Indonesia,” ujarnya.
Untuk menutup celah tersebut, IAW menyampaikan empat langkah strategis yang mendesak dijalankan pemerintah:
-
Audit BPK terhadap registrasi dan vendor SIM card, dengan melibatkan Dukcapil, PPATK, dan BSSN. Provider harus bertanggung jawab secara etis dan sistematis atas nomor-nomor yang digunakan untuk merugikan konsumen, sesuai dengan lingkup bisnisnya.
-
Revisi UU Perlindungan Konsumen, dengan menambahkan pasal baru yang mengatur hak atas kuota digital yang tidak terpakai, guna mencegah praktik manipulatif melalui pengabaian informasi (fraud by omission).
-
Penerapan whitelist nasional untuk SIM card, di mana hanya nomor yang sudah diverifikasi langsung ke Dukcapil yang dapat digunakan untuk layanan digital vital seperti perbankan, e-wallet, dan pendaftaran pemilu.
-
Satgas judi online perlu menyasar distribusi kartu SIM, bukan hanya fokus pada pemblokiran situs. Karena akar transaksinya justru berasal dari nomor-nomor tak terlacak.
“SIM card hanya seukuran iklan baris, tapi ia adalah kunci masuk ke ruang digital nasional: rekening, e-wallet, pinjol, pendaftaran pemilu, dan identitas online,” katanya.
Menurutnya, penelusuran penyalahgunaan nomor fiktif atau kuota hangus bukan hal sulit jika aparat negara benar-benar serius. Audit sistem digital melalui Signaling System 7 atau pengecekan HLR bisa digunakan untuk melacak semua nomor tak terpakai atau tak terverifikasi.
“Jika negara tak mampu mengendalikan kartu sekecil ini, maka negara bisa kehilangan kendali atas rakyatnya sendiri, di ruang yang tak terlihat, yakni dunia digital,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: