Peneliti BRIN Bambang Prasetya Kritik Regulasi Rokok Konvensional dan Alternatif yang Disamaratakan
Kredit Foto: Ist
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang Prasetya, menyoroti perlunya regulasi rokok yang lebih adil dan berbasis pada tingkat risiko masing-masing produk.
Menurutnya, produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik (vape) dan tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product/HTP) memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih rendah dibanding rokok konvensional, sehingga tidak semestinya dikenai perlakuan regulatif yang sama.
"Rokok konvensional dibakar dan menghasilkan tar serta senyawa kimia berbahaya. Sementara produk alternatif tidak melalui proses pembakaran, sehingga kadar tar-nya sangat rendah atau bahkan mendekati nol," ujar Bambang, merujuk pada hasil kajian BRIN yang dilakukan melalui uji laboratorium dan telaah pustaka terhadap berbagai produk yang beredar di Indonesia.
Ia juga menegaskan bahwa nikotin, meski tetap memiliki efek adiktif, bukan satu-satunya penyebab utama gangguan kesehatan akibat merokok.
“Nikotin secara kimiawi mirip dengan kafein dalam kopi atau teh. Justru zat-zat berbahaya yang muncul dari pembakaran tembakaulah yang menjadi persoalan utama,” jelasnya.
Kajian BRIN tersebut dilakukan dengan melibatkan laboratorium independen untuk menjaga objektivitas dan akurasi hasil. Sejumlah temuan dari penelitian ini kini tengah diproses untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional.
Di tengah wacana pembaruan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jakarta, yang turut mengusulkan pelarangan merokok di tempat hiburan malam, Bambang mengimbau agar kebijakan tidak disamaratakan.
Baca Juga: Kontribusi Hingga 15% ke Negara, DPR Minta Pemerintah Lindungi IKM Rokok
“Produk yang tidak menghasilkan tar seharusnya tidak dikenai larangan maupun tarif cukai yang sama seperti rokok konvensional. Regulasi yang adil sebaiknya berbasis pada tingkat risiko masing-masing produk,” tegasnya.
Tak hanya soal kesehatan, Bambang juga mengingatkan pentingnya memperhatikan dampak ekonomi. Industri hasil tembakau menyumbang lebih dari Rp300 triliun per tahun ke negara dalam bentuk cukai dan pajak, serta menyerap jutaan tenaga kerja, khususnya di sektor pertanian dan manufaktur.
Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dengan tingginya jumlah perokok aktif yang diperkirakan mencapai 70 juta orang. Meski berbagai upaya seperti kenaikan cukai, pembatasan iklan, dan peringatan pada kemasan sudah dilakukan, angka perokok belum juga menurun signifikan.
“Pemerintah perlu pendekatan yang lebih inovatif. Mendorong perokok untuk beralih ke produk yang lebih rendah risiko bisa jadi bagian dari solusi,” tutup Bambang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: