Hadapi Ketidakpastian Global, UOB Soroti Pentingnya Kolaborasi Strategis
Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Dalam rangka memperkuat pemahaman lintas sektor terhadap dinamika regulasi dan pasar yang terus berubah, UOB Indonesia menyelenggarakan diskusi panel bertajuk “Navigating Regulation Shifts and Market Uncertainties in Indonesia & ASEAN” melalui forum UOB Media Editors Circle. Acara ini diadakan pada Selasa (22/7/2025) di Penthouse UOB Plaza, Jakarta.
Forum ini mempertemukan perwakilan pemerintah, dunia usaha, dan sektor keuangan untuk membahas secara terbuka bagaimana respons Indonesia terhadap kebijakan tarif baru dari
Amerika Serikat, ketegangan geopolitik global, dan tantangan kebijakan dalam negeri seperti hilirisasi, ESG, dan reformasi subsidi.
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber utama yakni Susiwijono Moegiarso, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Aviliani, WKU KADIN Indonesia Bidang Analisis Kebijakan Makro-Mikro; dan Edwin Kadir, Head of Corporate Banking UOB Indonesia.
Baca Juga: Bank DBS dan UOB Indonesia Kucurkan Kredit Rp6,7 Triliun Untuk Bangun Pusat Data
Pada segmen pertama, diskusi membahas pergeseran orientasi pelaku usaha dari ekspansi menuju mitigasi risiko akibat tekanan eksternal seperti kebijakan tarif AS dan ketegangan geopolitik. Pemerintah dan sektor perbankan juga berbagi pendekatan baru dalam menjaga keberlanjutan iklim investasi, termasuk melalui dukungan insentif dan penguatan layanan manajemen risiko.
Dalam kesempatan tersebut, Susiwijono mengatakan, pihaknya menyambut baik langkah Presiden Prabowo yang turun tangan langsung mendiskusikan tarif impor AS dengan Presiden AS Donald Trump. Imbasnya tarif impor AS untuk Indonesia turun jadi 19% dari sebelumnya dikenakan 32%.
"Sebenarnya hasil 19% kemarin itu adalah betul-betul hasil telpon antara Bapak Presiden dengan Presiden Trump. Kalau kami tugasnya menyiapkan data-data teknis, kesepakatan kita seperti apa. Nah Pak Menko counterpart-nya dengan tiga menteri di Amerika, yang satunya setingkat menteri, yang memang punya otoritas menetapkan tarif," ucapnya.
Selanjutnya, pada segmen kedua mengangkat para pelaku usaha dan lembaga keuangan kini mengadopsi strategi berbasis risiko. Pembahasan mencakup peningkatan minat terhadap produk pembiayaan jangka panjang seperti ESG-linked loans, penggunaan skenario risiko dalam perencanaan keuangan, serta pentingnya narasi ekonomi yang komunikatif agar arah kebijakan mudah dipahami pelaku pasar.
Menurut Aviliani, dalam 10 tahun ke depan, 10 risiko terbesar global justru 5 terbesarnya itu adalah masalah lingkungan. "Jadi walaupun Trump tidak konsen terhadap lingkungan, kita harus tetap ke sana, karena kita akan banyak ditolak kalau kita arahnya nggak ke sana," tukasnya.
Terkait manajemen risiko, Ia menyoroti manajemen risiko di dunia usaha masih lemah. Kalaupun ada, hanya pelaku usaha yang beriorentasi ekspor yang manajemen risikonya cukup baik. "Jadi sekarang itu kebanyakan bank itu menanggung resiko daripada debitur. Tetapi hanya debitur yang orientasi ekspor, dan debitur besar saja yang memang sudah menyiapkan manajemen resiko," tambahnya.
Selain itu, diskusi ini juga menekankan pentingnya kolaborasi antara sektor keuangan, pemerintah, dan pelaku usaha untuk memastikan kebijakan tidak hanya efektif secara teori, tetapi juga dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan.
Baca Juga: Trump: Tak Ada Perpanjangan Batas Waktu Negosiasi Tarif AS
Misalnya, mendorong investasi asing masuk ke pasar Indonesia. Edwin Kadir menyampaikan bahwa kelebihan kapasitas produksi China (Tiongkok) bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong investasi dan ekspansinya ke Indonesia. Apalagi ekspor China ke AS juga terkendala denhan harga yang tidak kompetitif sehingga China mencari pasar baru yang populasinya scalable.
"Karena kita dari sisi perbankan kita banyak mendapat enquiry dari perusahaan-perusahaan di Tiongkok dan juga di regional ASEAN. Karena mereka melihat mungkin mereka akan menjadikan Indonesia salah satu hub untuk mereka. Karena pada saat kelebihan production capacity mungkin mereka akan mencari market baru dan salah satu yang paling ideal bagi mereka adalah membuat production basenya juga di Indonesia untuk mengurangi beban transportasi dan juga mungkin untuk mencapai efisiensi lebih lanjut," jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait: