- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Dekarbonisasi Transportasi Butuh Sinergi, ISMO 2025 Tawarkan Kerangka Aksi
Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan perlunya strategi konkret agar rekomendasi transisi energi, khususnya di sektor transportasi, tidak berhenti di tataran wacana. Hal ini tertuang dalam laporan Indonesia Sustainable Mobility Outlook (ISMO) 2025.
Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi IESR, Faris Adnan, menjelaskan transportasi merupakan sektor dengan peran penting dalam upaya dekarbonisasi. Ia menegaskan masyarakat dapat berkontribusi langsung melalui berbagai langkah sederhana.
“Transportasi adalah sektor yang di mana masyarakat berperan penting dalam melakukan dekarbonisasi. Kami di sini juga mengajak masyarakat untuk berusaha mengurangi jejak karbon di sektor transportasinya dengan cara yang bisa mereka lakukan, mulai dari work from home, menggunakan transportasi umum, menggunakan kendaraan listrik, atau belajar mengendarai sesuai panduan ecodriving,” ujar Faris saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Kamis (4/9/2025).
Baca Juga: ISMO 2025: Target Mobilitas Hijau Realistis, Skema Langganan Baterai Jadi Solusi Harga EV
Faris menambahkan, ISMO 2025 dirancang tidak hanya sebagai laporan analitis, tetapi juga panduan aksi dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan.
“Kami terus mencoba mengajak pemangku kepentingan agar masyarakat selalu mempunyai pilihan yang lebih baik dalam bertransportasi, baik itu dari segi harga, waktu, kenyamanan, keamanan, dan sebagainya,” ujarnya.
Terkait rantai pasok kendaraan listrik, Faris menilai perkembangan industri baterai di Indonesia masih belum memiliki arah jelas. Ia menyoroti ketimpangan fokus pemerintah dalam mengembangkan baterai berbasis nikel, padahal mayoritas mobil listrik global tidak menggunakan teknologi tersebut.
“Saya bisa bilang perkembangan industri baterai di Indonesia masih belum memiliki arahan yang jelas. Saya tidak melihat ada kejelasan langkah awal yang perlu dilakukan, misalnya seperti riset dan pengembangan. Lalu Indonesia selama ini bersikeras untuk mengembangkan baterai berbasis nikel, sedangkan 86 persen mobil listrik di Indonesia menggunakan baterai yang berbasis bukan nikel,” ungkapnya.
Baca Juga: Transportasi Berkelanjutan Indonesia Masih Timpang, Ini Temuan ISMO 2025
Ia juga mengkritisi kebijakan insentif yang masih terfokus di sektor hulu dan hilir. Menurutnya, sektor tengah yang berperan menghubungkan industri baterai justru belum mendapat perhatian.
“Saya melihat beberapa usaha sudah coba dilakukan, tapi saya tidak menemukan peta jalan yang bisa membantu kita mencapai pengembang baterai EV global. Beberapa investasi memang bertambah di industri ini, tapi ketika kita tidak menguasai teknologinya, kita tidak akan bisa mewujudkan ambisi yang sudah disebutkan sebelumnya,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo