Ternyata, Masih Ada 24 Juta Orang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan
Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Peneliti CSED INDEF, Akhmad Affandi Mahfudz, menilai gelombang demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus lalu mencerminkan akumulasi ketidakadilan sosial.
Ia menyebut, kondisi ekonomi masyarakat semakin tertekan akibat kemiskinan, rendahnya daya beli, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Menurut data BPS per Maret 2025 menunjukkan lumayan besar, 24 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Nah ini menurut data BPS, kalau Bank Dunia mungkin lebih lagi karena Bank Dunia dengan BPS ternyata punya benchmark yang berbeda,” ujarnya dalam diskusi publik INDEF, Rabu, (10/9/2025).
Baca Juga: Demonstrasi Akhir Agustus Jadi Alarm Ketimpangan, INDEF Buka-bukaan Data
Affandi menjelaskan, di tengah kenaikan angka kemiskinan, pendapatan masyarakat tetap rendah. Bahkan, sejumlah perusahaan besar maupun ritel mengalami gelombang PHK.
“Pada waktu yang sama terjadi beberapa massive PHK bahkan di perusahaan-perusahaan yang memang sudah established tapi kemudian akhirnya menjadi PHK dan juga beberapa perusahaan retail yang memang sangat bergantung dengan geometril,” jelasnya.
Baca Juga: Gelombang PHK di Industri Rokok, Pengamat Pajak Minta Pemerintah Stop Naikkan Cukai
Selain itu, ia juga menyoroti jurang kesenjangan ekonomi antara rakyat dan pejabat.
“Rakyat harus lebih kaya daripada wakil, nah ini kebalik. Ini malah justru wakilnya yang lebih kaya raya,” tegasnya.
Bahkan, ia juga menyebutkan bahwa inflasi dan kelangkaan barang pokok memperburuk beban buruh.
“Faktanya juga masih belum bisa minimal memenuhi kebutuhan dasar mereka, kenapa? Ya mungkin faktor yang sederhana karena terjadi inflasi kemudian kelangkaan barang,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Azka Elfriza
Editor: Annisa Nurfitri