Angkat Potensi Bambu, Forum Bumi 2025 Dorong Kolaborasi Lintas Sektor Demi Industri Keberlanjutan
Kredit Foto: Ist
Forum Bumi 2025 resmi terselenggara pada Kamis, 18 September 2025, dengan mengangkat tema “Mendorong Arah Kebijakan Pelestarian dan Pemanfaatan Bambu sebagai Solusi untuk Ketahanan Ekosistem, Ekonomi, dan Sosial”.
Ajang ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, kalangan industri, hingga organisasi lingkungan untuk merumuskan strategi pengelolaan bambu sebagai sumber daya berkelanjutan yang bernilai tinggi.
Bambu memiliki keunggulan ekologis yang luar biasa. Kemampuannya menyerap karbon dioksida (CO₂) 1–2 kali lebih tinggi dibandingkan pohon kayu menjadikannya tanaman dengan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim. Tidak hanya itu, bambu juga berpotensi menjadi sumber energi terbarukan. Salah satu bentuk pemanfaatannya adalah melalui biochar yang memiliki banyak manfaat bagi lingkungan. Lebih luas lagi, pemanfaatan bambu di sektor energi ini juga membuka peluang investasi dan menciptakan lapangan kerja hijau berbasis sumber daya lokal.
Baca Juga: Gakkum Kehutanan Gagalkan Perdagangan Elang di Bangka Belitung
Meski potensinya besar, produktivitas bambu di Indonesia masih terbilang rendah. Sebagian besar pasokan masih bergantung pada bambu alam, dengan hasil panen rata-rata hanya sekitar 2–6 ton per hektar. Kondisi ini menjadi tantangan yang perlu dijawab agar bambu bisa benar-benar dioptimalkan sebagai komoditas unggulan.
Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Haruki Agustina, menyoroti peran bambu dalam mendukung target iklim nasional. Ia menyebut, target National Determined Contribution (NDC) Indonesia tahun 2030 adalah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% secara mandiri.
"Bambu dapat berperan penting melalui kapasitasnya sebagai carbon sink, sekaligus memperkuat ketahanan ekosistem dan sosial di tingkat lokal,” jelas Haruki, Jakarta, 18 September 2025.
Dalam ranah industri, peluang ekonomi dari bambu pun sangat menjanjikan. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa pasar global produk berbasis bambu diproyeksikan tumbuh dari USD74 miliar pada 2024 menjadi USD118,3 miliar pada 2034. Indonesia sendiri saat ini berada di peringkat 12 besar dunia dengan pangsa pasar sebesar 0,9%.
Pertumbuhan pasar produk bambu nasional diprediksi meningkat rata-rata 6,2% setiap tahun pada periode 2020–2028. Keunggulan lain, bambu tumbuh jauh lebih cepat dibanding kayu: dalam 3–5 tahun sudah dewasa dan dapat dipanen dalam kurun 4–7 tahun. Artinya, bambu mampu menjawab kebutuhan bahan baku berkelanjutan sekaligus memberikan nilai tambah di pasar global.
Putu Juli Ardika, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian, menekankan potensi bambu untuk mendukung transformasi industri hijau.
“Bambu dapat dikembangkan menjadi produk bernilai tinggi, mulai dari furnitur, tekstil, hingga material ramah lingkungan yang dapat bersaing di pasar global. Kementerian Perindustrian mendorong pemanfaatan bambu sebagai bagian dari substitusi bahan baku kayu, sekaligus mendukung penguatan industri hijau nasional,” ungkapnya.
Lebih jauh, Rika Anggraini, Direktur Komunikasi dan Kemitraan Yayasan KEHATI, menekankan bahwa bambu adalah bagian dari identitas budaya sekaligus penopang ketahanan sosial. “Indonesia memiliki sekitar 175 jenis bambu, dan 50% di antaranya endemik. Sejak 2012, kami terus mendukung pelestarian bambu berbasis masyarakat di Jawa Barat, Bali, NTB, dan NTT. Bambu bukan hanya sekadar sumber daya alam, melainkan juga identitas budaya dan penopang ketahanan sosial yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” jelas Rika.
Baca Juga: Menteri Kehutanan Dorong Percepatan Penetapan 1,4 Juta Hektare Hutan Adat
Dari sisi dunia usaha, Fransiska Oei, Compliance, Corporate Affairs & Legal Director PT CIMB Niaga Tbk., menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor agar bambu benar-benar menjadi bagian dari ekosistem ekonomi masa depan, “Keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Industri perbankan pun dapat berperan melalui dukungan pembiayaan hijau, agar bambu tidak hanya dilihat sebagai komoditas tradisional, melainkan bagian dari ekonomi masa depan.”
Melalui Forum Bumi, para pemangku kepentingan menegaskan komitmen untuk mendorong bambu agar tidak hanya dipandang sebagai tanaman tradisional, tetapi juga sebagai salah satu solusi paling relevan bagi masa depan: menjaga ekosistem, memperkuat ekonomi lokal, hingga membuka peluang inovasi industri berkelanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: