- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
PP Baru Buka Tambang untuk Ormas dan Koperasi, ICJL: Ini Langkah Mundur Ekologis
Kredit Foto: Kementerian ESDM
Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Regulasi ini memberikan hak kepada koperasi dan organisasi masyarakat (ormas) untuk mengelola wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara hingga seluas 2.500 hektare.
Kebijakan tersebut langsung menuai penolakan dari Indonesia Climate Justice Literacy (ICJL). Pendiri ICJL, Firdaus Cahyadi, menilai kebijakan itu berpotensi merusak lingkungan dan memperparah krisis ekologi di Indonesia.
“PP ini berpotensi besar merusak lingkungan hidup dan memperparah krisis ekologi di Indonesia,” ujar Firdaus dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (10/10/2026).
Firdaus menilai, narasi pemerintah yang mengatasnamakan pemerataan ekonomi dan pemberdayaan pengusaha lokal hanya menjadi pembenaran atas kebijakan yang merugikan alam.
Baca Juga: Ambisi Energi Terbarukan Dikecilkan, Batubara Tetap Jadi Raja di PP KEN 2025
“Sektor pertambangan, terlepas dari siapa pengelolanya, adalah sektor dengan risiko lingkungan tertinggi,” tegasnya. “Luas wilayah 2.500 hektare bukanlah skala kecil dalam konteks ekologi. Luasan itu cukup untuk menyebabkan degradasi hutan, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati secara masif.”
ICJL menyoroti tiga kekhawatiran utama dari sisi lingkungan. Pertama, kapasitas pengelolaan lingkungan yang diragukan.
“Mengelola area tambang seluas 2.500 hektare membutuhkan keahlian teknis dan modal finansial yang sangat besar untuk reklamasi pasca-tambang, mitigasi polusi air asam tambang, serta pengelolaan limbah B3,” tegas Firdaus.
Menurutnya, koperasi dan UMKM umumnya belum memiliki rekam jejak, sumber daya, dan tata kelola yang mampu menjamin kepatuhan terhadap standar lingkungan yang ketat.
Baca Juga: PT Timah Ubah Tambang Ilegal Jadi Legal Lewat 30 Koperasi
“Risiko kegagalan reklamasi dan pencemaran permanen menjadi sangat tinggi,” jelasnya.
Kedua, potensi konflik sosial akibat alih fungsi lahan. Menurutnya, pemberian IUP dengan skema prioritas tanpa tender murni berisiko membuka wilayah konservasi atau lahan produktif yang sebelumnya dilindungi.
“Keputusan ini berpotensi memicu konflik agraria dan tumpang tindih lahan yang justru merugikan masyarakat adat dan petani, serta mempercepat laju deforestasi untuk mengejar keuntungan komersial jangka pendek," ungkapnya.
Ketiga, lemahnya pengawasan dan regulasi yang justru berpotensi memperparah kerusakan lingkungan. Ia menjelaskan, ketika banyak entitas kecil diizinkan beroperasi, pengawasan pemerintah menjadi tidak efektif dan terfragmentasi.
“Hal ini menciptakan celah besar bagi praktik penambangan yang tidak bertanggung jawab, penambangan ilegal terselubung, dan mengarah pada kerusakan lingkungan kumulatif yang lebih parah dibandingkan dengan operasi perusahaan besar yang setidaknya memiliki kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan publikasi yang lebih ketat," jelasnya.
Baca Juga: Finalisasi Perpanjangan IUPK Freeport Dijadwalkan Oktober, Pemerintah Tawar Saham 12%
Firdaus menegaskan, pemerintah tidak boleh menukar kesehatan ekosistem dengan janji ekonomi yang rapuh.
“Lingkungan hidup adalah modal utama dan satu-satunya yang kita miliki. Dengan membuka keran tambang secara masif, pemerintah melakukan bunuh diri ekologi yang berdampak pada bencana bagi generasi mendatang,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo