Guru Besar USU Komentari Sorotan pada Penetapan Suku Bunga Pindar oleh Asosiasi Fintech
Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Profesor Ningrum Natasya Sirait, memberikan pandangannya terkait sidang dugaan penetapan suku bunga oleh penyelenggara pinjaman daring (Pindar) yang sedang berlangsung di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Profesor Ningrum menyoroti adanya ketidakselarasan antarlembaga, di mana pelaku usaha yang justru mematuhi arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator malah menghadapi sorotan dari KPPU.
“Ketika tindakan pelaku usaha dilakukan untuk mematuhi peraturan regulator, motivasinya bukan lagi sekadar mengejar keuntungan, melainkan kepatuhan untuk melindungi konsumen. Logika hukum jelas membedakan antara pelanggaran hukum dan kepatuhan terhadap hukum,” ujarnya.
Alumnus University of Wisconsin, Amerika Serikat ini, menegaskan bahwa langkah Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dalam menetapkan batas manfaat ekonomi merupakan bentuk kepatuhan pada arahan OJK.
“Tindakan ini dilakukan untuk membedakan platform legal dari pinjol ilegal, bukan hasil kolusi bisnis,” imbuhnya.
Sebelumnya, OJK telah mengonfirmasi bahwa mereka memang mengarahkan AFPI untuk menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi guna melindungi konsumen dan membersihkan industri dari praktik ilegal.
Profesor Ningrum, yang dikukuhkan sebagai guru besar pada 2006, menilai KPPU tampaknya mengabaikan aspek regulatory compliance. Ia menjelaskan bahwa dalam berbagai yurisdiksi, kepatuhan terhadap arahan regulator diakui sebagai pembelaan sah terhadap tuduhan pelanggaran persaingan usaha. Doktrin ini dikenal sebagai regulatory defense atau state action doctrine.
Baca Juga: OJK Perkuat Pengawasan Pindar, Fokus ke Pemodalan dan Risiko
“Ketika tindakan pelaku usaha didorong oleh regulator, motivasinya berubah: dari memaksimalkan laba menjadi mematuhi aturan. Inilah pembeda fundamental antara tindakan yang sah secara hukum dan tindakan yang melanggar,” tegas Ningrum.
Kasus ini dinilai penting karena dapat menciptakan preseden buruk, di mana pelaku usaha yang patuh pada regulator justru dijerat hukum. Untuk itu, Ningrum menyarankan agar KPPU memperhitungkan motif kepatuhan dan tujuan perlindungan konsumen dalam pemeriksaan ini.
“Dampak terbesar dari perkara ini adalah menurunnya kepercayaan investor dan pelaku usaha terhadap kepastian hukum di Indonesia, khususnya di industri Pindar. Ini merupakan biaya termahal yang harus kita hindari,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: