Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        INDEF Bahas Arah Ekonomi Berkeadilan 2026, Ekonom Soroti Konsumsi Rumah Tangga hingga Ancaman Oligarki

        INDEF Bahas Arah Ekonomi Berkeadilan 2026, Ekonom Soroti Konsumsi Rumah Tangga hingga Ancaman Oligarki Kredit Foto: Antara/Abriawan Abhe
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menggelar diskusi panel bertajuk “Proyeksi Ekonomi Indonesia 2026: Menata Ulang Arah Ekonomi Berkeadilan”. Dalam diskusi ini, sejumlah ekonom dan pejabat pemerintah membahas arah kebijakan ekonomi nasional ke depan. 

        Acara ini menghadirkan keynote speech dari Menteri Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar, serta paparan dari Direktur Program INDEF Eisha M. Rachbini, Ekonom Senior INDEF Aviliani, dan Ekonom INDEF Didin S. Damanhuri.

        Muhaimin Iskandar: Pemberdayaan Masyarakat sebagai Mandat Konstitusi

        Dalam pidatonya, Muhaimin menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat bukanlah proyek sampingan negara, melainkan amanat konstitusi yang harus menjadi inti dari pembangunan nasional. Ia menilai pertumbuhan ekonomi hanya bermakna ketika dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana ditekankan para pendiri bangsa dalam konsep ekonomi konstitusi.

        Muhaimin menjelaskan bahwa kementeriannya tengah menyelesaikan Data Tunggal Sosioekonomi Nasional (DTSEN), yang disebut sebagai game changer untuk memperbaiki ketepatan sasaran program pembangunan. Melalui DTSEN, seluruh kementerian dan pemerintah daerah diwajibkan menggunakan satu data terpadu agar intervensi sosial dan ekonomi lebih akurat.

        Menurutnya, data yang terintegrasi memungkinkan pemerintah mengidentifikasi kelompok rentan, masyarakat yang hampir jatuh miskin, hingga mereka yang membutuhkan pelatihan dan dukungan untuk mandiri. “Data adalah pondasi untuk merancang kebijakan yang benar untuk mendorong produktivitas masyarakat,” katanya.

        Muhaimin juga menyoroti pentingnya penguatan UMKM dan ekonomi kreatif sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional. Ia mencontohkan program Pasar 1001 Malam yang memanfaatkan aset-aset pemerintah yang tidak produktif untuk mendukung pelaku UMKM dan membangun ekosistem ekonomi kreatif yang berkelanjutan.

        Baca Juga: Data Ekonomi Amerika Serikat (AS) Terbaru Bikin Harga Emas Turun

        Eisha M. Rachbini: Konsumsi Rumah Tangga Melemah, Kemiskinan Masih Tinggi

        Eisha memaparkan hasil penelitian INDEF terkait kondisi ekonomi Indonesia menjelang 2026. Ia menyoroti daya beli masyarakat yang belum pulih, tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang telah delapan triwulan berada di bawah pertumbuhan ekonomi.

        Indeks keyakinan konsumen juga menunjukkan tren penurunan, masih bertahan tipis di level 100 yang menandakan pesimisme terhadap pendapatan dan kondisi ekonomi mendatang.

        INDEF juga mencatat beberapa indikator ekonomi yang belum mencapai target, seperti pertumbuhan ekonomi 2025 yang baru mencapai 5,04% pada kuartal III, di bawah target APBN sebesar 5,2%. Nilai tukar rupiah pun melemah melewati level asumsi 16.000/USD akibat tekanan global dan arus keluar modal.

        Tingkat kemiskinan pada Maret 2025 tercatat 8,47%, belum mencapai target 7–8%, sementara kemiskinan ekstrem masih 0,85% dari target nol persen. Eisha juga mencatat masih tingginya ketimpangan antarwilayah, terutama terkait kapasitas fiskal daerah. Beberapa daerah seperti Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, dan Gorontalo menghadapi keterbatasan fiskal yang berdampak pada layanan publik dan pertumbuhan ekonomi lokal.

        Aviliani: Perbankan, Pembiayaan, dan Pentingnya Ekosistem Pariwisata

        Aviliani menyoroti peran pembiayaan sebagai penggerak sektor riil. Meskipun sektor multi-finance dan pasar modal berkembang, perbankan tetap menjadi kontributor terbesar dalam pembiayaan ekonomi. Ia menjelaskan bahwa penurunan suku bunga setelah adanya penempatan dana Rp200 triliun ke perbankan telah meningkatkan permintaan kredit serta mendorong pertumbuhan investasi.

        Namun demikian, Aviliani melihat implementasi kebijakan di kementerian sektoral masih kurang mendukung peningkatan permintaan di level sektor riil. Ia menilai sektor pariwisata dapat menjadi pengungkit paling cepat, terutama karena kontribusinya terhadap UMKM. “Kalau daya beli masyarakat masih bermasalah, maka pemerintah harus fokus pada sektor yang tumbuh cepat, yakni pariwisata,” ujarnya.

        Ia juga menyoroti potensi hilirisasi dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), terutama di Jawa Tengah, yang kini menarik minat investor karena biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Aviliani menegaskan perlunya penyederhanaan regulasi dan pembentukan Satgas Regulasi untuk mempercepat penyelesaian hambatan birokrasi, terutama bagi investor.

        Baca Juga: Prospek Asuransi Umum Bergantung Pertumbuhan Ekonomi 2026?

        Didin S. Damanhuri: Tantangan Ketimpangan dan Ancaman Oligarki

        Didin memaparkan tiga model keadilan ekonomi di negara berkembang: Growth Through Equity, Growth with Equity, dan GDP Oriented. Ia menilai model pertama terbukti sukses di Jepang dan Taiwan, yang menempatkan UMKM sebagai inti pembangunan.

        Sebaliknya, Indonesia menghadapi ketimpangan yang tinggi. Menurutnya, data World Bank menunjukkan pendapatan 40% masyarakat terbawah di Indonesia sangat rendah, sementara rasio gini sebenarnya mendekati 0,5, lebih timpang dari angka resmi. Ia juga menyebut 0,02% penduduk menguasai lebih dari 98% aset finansial perbankan.

        Didin menyoroti meningkatnya indeks oligarki Indonesia sejak 2014, yang disebut sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Ia mengingatkan bahwa program pemerintah seperti MBG, Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), hilirisasi, dan swasembada pangan sebenarnya berpotensi mendukung pemerataan, namun berisiko gagal jika implementasinya tidak terukur dan terlalu top-down.

        Ia menyoroti risiko kredit macet jika rencana pembiayaan 82.000 koperasi KDMP tidak disiapkan dengan matang, serta mengingatkan agar kebijakan tidak semata mengejar pertumbuhan PDB tanpa pemerataan yang jelas.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: